Katakan, harus apa aku?
"Meski rasa datang dan pergi semaunya, tolong, wahai luka, kau jangan datang jika enggan pergi."
Gadis berkulit putih itu berteriak kegirangan. Kini ia tengah menikmati senja di atas bukit, duduk bersantai di sana bersama pemuda yang dia panggil Kakak. Nyaman, kata itulah yang kini mereka rasakan. Selepas penat dengan kuliah, menikmati indahnya alam memang sangat cocok."Seru enggak?" tanya pemuda tinggi dengan senyum puas. Senang bisa melihat Joya Avara kecilnya bahagia.
Gadis itu pun mengangguk mantap, tidak lupa memamerkan senyum lebarnya, yang sungguh itu selalu membuat semua pria terpikat.
Joya lalu menutup matanya sambil menikmati angin yang berembus ke arahnya, hingga sesekali membuat rambutnya terbang ke belakang.Hari yang Amir Gintan lewati dengan Joya, membuat secercah harapan muncul di hatinya. Berharap akan ada kesempatan untuknya kembali kepada gadis itu. Ya, Amir sadar Joya sedang tidak dalam keadaan baik, tetapi dia ingin kembali seperti dulu saat mereka bersama.
Amir ingin seperti dulu saat melewati segalanya bersama, meski beberapa tahun dia telah pergi meninggalkan Joya saat gadis itu terpuruk. Namun, anehnya gadis itu tidak mengingat kejadian tersebut. Sontak, muncul pertanyaan, apa hal itu traumatis untuk Joya? Pasalnya Dokter mengatakan Joya hanya melupakan hal traumatis. Anehnya, Joya tetap ingat padanya, tetapi tidak dengan kejadian saat kepergiannya.
Melihat anak rambut Joya menghalangi wajah, Amir berusaha menyelipkan di telinga gadis itu. "Sampai segitunya biarin muka kamu ketutup rambut panjang kamu?"
Joya lalu menghela napas panjang. "Enak, kayak lagi terbang di langit."
"Enak? Emang makanan. Langit juga bukan makanan."
Joya lalu memukul lengan Amir dengan gemas. "Enggak usah bercanda. Serius, enak, bukan langitnya yang enak."
Pukulan gadis itu yang tidak menyakitkan malah membuat Amir terkekeh keras. "Siapa yang bercanda, otak kamu aja yang dari dulu enggak sampai."
Joya kembali mengulang pukulannya. "Maksudnya otakku dangkal? Dasar sombong, sok pinter, blag—"
Sebuah tangan besar dengan segera menutup mulut gadis itu sebelum sumpah serapahnya keluar. Joya memang sudah mulai bawel dan menggemaskan, seperti dulu.
"Udah, ah. Nikmatin senja dulu, berantemnya nanti," kata Amir lalu menurunkan kembali tangannya.
Gadis itu langsung diam sambil cemberut. Lucu, itulah yang terlintas di pikiran Amir saat melihat Joya merajuk, sayangnya gadis itu milik orang lain, bukan miliknya.
Jika Joya kembali menjadi miliknya, apa boleh? Jika mempunyai keinginan untuk memiliki gadis itu lagi, apakah salah? Ah, Amir semakin gila jika mengingatnya.Tiba-tiba Joya menguap, padahal tadi dia yang paling semangat, tetapi kini malah terlihat mulai mengantuk. Tangan Amir lalu mendorong kepala Joya dari samping agar bersandar di bahunya.
"Kalau ngantuk, senderan aja," ucap Amir.
Hal itu membuat Joya menurut, memang sebenarnya mengantuk, tetapi ia tidak ingin melewatkan senja.
Kini kepalanya sudah berada di bahu Amir, ternyata nyaman juga, apa semua bahu pria seperti itu? Ah, Joya tidak mau memikirkan itu, dia hanya ingin menikmati senja sore ini dengan teman sejak kecilnya, yang kini sudah menjadi kekasihnya."Makasih Kak, udah bawa aku ke sini," ucap Joya lirih.
"Iya Joya kecil." Panggilan itu masih selalu teringat oleh Amir dan Joya, panggilan saat kecil dulu, karena Joya terlihat mungil ketika bersama Amir yang tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynand & Joya (Kepulangan Hati) END
RomanceSELESAI/KOMPLIT PART LENGKAP (SEQUEL) Reynand & Joya. Baca R&J yg pertama akan lebih nyambung. Ternyata, pertengkaran seperti kucing dan tikus yang sering dilakukan, pada akhirnya membuat kita rindu masa itu. Pasalnya, waktu berubah semaunya. Reynan...