Part: 11

71 11 0
                                    

Kami masih di tempat yang sama.

Baiklah, aku sedikit bingung dan kesal setelah mendengar pengakuannya. Mengapa aku begitu dikhawatirkan sampai harus diawasi?

"Mungkin kau sudah tahu bahwa kau orang dalam ramalan itu," ujarnya dengan sangat santai, meski mataku sudah membelalak mendengarnya sekarang.

Dia menatapku. "Tapi jangan sekalipun berpikir bahwa kau akan bertindak sendiri. Itu urusan kami."

Entah mengapa hatiku merasa sedikit lega.

Kuperhatikan pahatan wajahnya yang sempurna. Mataku dapat menangkap kilatan iris teduhnya. Mungkin jarak kami tidak terlalu dekat, tetapi dari posisi ini aku cukup dapat melihatnya.

"Kuperingatkan, kau tidak cukup kuat untuk melawan mereka. Jangan bertindak bodoh sekalipun kau memang bodoh."

Wajahku mungkin sudah memanas mendengar kalimat terakhirnya. Namun, aku hanya terdiam.

"Bahkan dia sudah merenggut orang tuaku. Tidak kubiarkan dia lolos," jelasnya kembali dengan nada yang sarat akan kebencian.

"Siapa?" tanyaku. Wajahnya sudah sangat menyeramkan sekarang. Giginya bergemeletuk.

"Ruth."

Mau tidak mau, lagi-lagi aku terkejut mendengarnya. Sebenarnya siapa Ruth ini? Apa masalahnya? Mengapa dia mau memancing perang lagi?

Sayangnya, aku tidak menanyakan apa pun lagi karena kurasa Daniel tidak menyukai topik itu.

Itulah percakapan terakhir kami di malam yang indah. Hingga sengatan suhu dingin yang membuat kulitku tersambar ngilu datang, serta rasa kantuk menyerangku, aku memilih untuk berpamitan kepadanya, meninggalkannya dalam pemikiran yang tidak kuketahui.

***

"Apa yang kau lakukan di sini?" Harwich memergoki seorang murid yang hendak melewati perisai sekolah. Kesan berwibanya, walau hanya lewat penglihatan lainku ini, tetap memberikan kesan menyekat. Pemuda yang bersamanya itu belum pernah kulihat. Ada yang aneh, pupil matanya tipis, lancip. Irisnya bergerak liar.

Harwich mendekatinya perlahan, mempertipis jarak mereka. Pemuda itu terkesiap, menatap pandangan hangat yang dilemparkan Harwich. Perlahan, pupil lancipnya memuai, mengembalikan bentuk aslinya. Raut bingung, terlihat jelas di wajah pemuda itu.

"Harwich?" lirihnya. "Apa yang kulakukan di sini?"

Harwich tersenyum hangat, "Tidak apa-apa, Nak. Kembalilah ke asrama."

"B-baik," ujar pemuda itu, meninggalkan halaman gerbang dengan perasaan gundah.

Aku mengerjap-ngerjap. Penglihatan tadi, akan berlangsung beberapa saat lagi. Bagaimana caraku mengetahuinya? Lihatlah bulan di luar sana, hampir bulat sempurna. Terlihat dengan jelas latar pertemuan Harwich dengan pemuda itu, di bawah bulan purnama, yang telah membulat sempurna.

Kuraih mantel biru tua serta syal hijau lumut yang menggantung di dinding, mengenakannya dengan cepat. Tidak lupa pula, kuambil sebuah penerang kecil yang berasal dari lentera.

Aku berniat menemui mereka. Mungkin sedikit mencari informasi. Belati kecil pemberian Regrust, kubawa serta untuk berjaga-jaga. Dengan langkah pelan, aku meninggalkan asrama dengan mengendap. Setelah memastikan Raquel, Kyle, serta Lie tidur pulas.

Aku tidak terlalu yakin akan mendapatkan sesuatu yang berharga di sana, setidaknya berusaha lebih baik, daripada tidak sama sekali. Penerang seluruh asrama telah dimatikan, menyisakan satu lampu terang di aula utama. Ini mempermudahku untuk menyusup ke luar.

Terdengar derap langkah kaki mendekat, kakiku melangkah cepat ke rimbunan semak. Dia, pemuda yang sama dengan yang bersama Harwich dalam penglihatanku. Bibirnya bergumam sesuatu yang tidak kumengerti. Bahasa penyihir. Tidak juga, dia mencampurkan bahasa-bahasa lain.

The Wizard.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang