eps. 11

53 7 1
                                    

Meragu

Aku masih melihat kearah Dompet itu bagaimana dompet didalam tas bisa jatuh kebawah. Rasanya aneh dan tidak masuk akal, aku terus melihatnya kearah dompet itu lagi.

"Itu dompet nggak bakal ilang kali, nggak usah dilihatin ampek segitunya."menatapku heran. "Ada yang cemburu kalau lo ngelihatinya begitu amat."

"Gue heran, juga bingung. Kenapa dompet ini bisa jatuh. Padahal gue taruh ditas."ucapku yang membuka dompet itu.

Aku tidak tahu berapa kali aku membukanya tapi, kenapa harus kelihatan bodoh didepan dia? Atau aku ini memang aslinya memang bodoh ya.

"Yaelah, masih untung dompet lo ketemu. Kalau nggak"dia menggantung ucapannya.

"Kalau nggak kenapa?"tanyaku penasaran.

"Ya nggak papa, itu dompet juga nggak ada isinya."ucapnya setengah tertawa.

"Kampret lo"

Aku mengeluarkan bantal dari tas dan mulai menata kursi-kursi itu jadi pajang. Pandu menatapku heran dengan bantal yang aku bawa.

"Gue kira lo bawa buku paket, pantes aja dari pelajaran tadi lo senderan mulu."ucapnya

Aku hanya memejamkan mataku tanpa memperdulikan dia. Ini hari pertama jadi aku bisa tidur sepuasnya. Karena free day, dan tidak mungkin ada guru masuk kecuali wali kelas yang meminta rapot kembali. Aku memejam mata dan merasakan angin angin yang berhembus disela jendela yang terbuka. Sebelum ada yang menarik bantalku begitu keras dan membuatku terduduk menatapnya heran.

"Lo itu nggak punya perasaan apa?"tandasnya "gue berjam-jam nungguin lo. Dan lo malah asik-asikan tidur disini. Lo mikir nggak sih Tam"

"Lo ngomong apa sih Ra?gue nggak ngerti."

"Dasar pria berengsek"

Aku menatapnya heran dengan beribu pertanyaan. Dengan alasan apa dia mengatakan bahwa dirinya itu seolah adalah kekasihku. Dia berlalu begitu saja dan aku hanya terdiam hingga Hera menepuk punggungku keras.

"Kenapa nggak lo kejar sih?"ucapnya yang membuatku mentapanya dengan tatapan curiga. "Lo kok nglihatin gue gitu banget"

Tanpa menjawab aku langsung pergi begitu saja, aku tidak mengejarnya aku hanya pergi kemana aku suka. Dan membuatku jauh lebih bahagia jika, aku pergi dari pada harus mendengar seolah aku adalah kesalahan bagi mereka.

☁☁☁

Aku terdiam diruang musik, sambil berbaring disana dengan hem yangku jadikan batal. Melihat segala sudut yang tertutup rapi membuatku bertanya. Adakah cela-cela udara yang bisa masuk lewat sana, seperti ruang hampa yang kedap akan suara.

Aku mengambil gitar dan memetiknya tak jelas, nada yang entah nada apa?seperti aku belajar pada dasar. Dan membuatku mengerti akan perasaanku saat ini, banyak yang berharap padaku karena sikapku. Apa mungkin aku mudah untuk jatuh cinta?namun, aku tidak bisa memiliki mereka semua.

Aku seperti terjebak disebuah labirin yang membuatku berjalan kearah yang salah terus dan kembali ketitik awalku melangkah. Kemana langkah yang aku ingin pijak adalah langkah pengharapan kepada dia yang tak aku mengerti siapa?aku hanya tak ingin menyakiti mereka dengan perasaan yang tak pernah aku terima tapi, mereka selalu menganggap lebih rasa itu hingga aku seakan membodohi mereka. Kali ini siapa yang harus aku persalahkan? Diriku lah atau kebaikanku semata.

Merasakan rasanya dicintai atau mencintaipun akan sama menyakitkan bukan. Mungkin aku menyesal karena telah membuat cinta yabg begitu banyak tanpa bisa membalas perasaan mereka semua.

"Sunset bukan akhir yang menyedihkan tapi, dia memberi banyak senyum meskipun mengakhiri."suara itu seketika membuatku menatapnya dengan tanda tanya, sejak kapan dia suka masuk ruang musik. "Kalau lo nggak mau terjebak pada perasaan carilah orang yang mampu membuat lo memahami rasa lo."

"Kenapa?"

"Cerita bukan hanya sekadar fiksi belaka namun, ada unsur nyata didalamnya. Meskipun kita tidak mengalaminya lo tahu apa yang paling sulit dalam cinta."aku menggeleng pelan. "Ketika perasaan diam-diam mulai berubah dan alasan untuk meninggalkan itu banyak sedangkan untuk bertahan, apa mungkin bisa?"

"Kenapa?"

"Kenapa mulu lo?"ucap Fandy yang berjalan pergi.

Entah kenapa aku malah mengikutinya?dia berjalan kebelakang sekolah dan mengambil sesuatu dari saku celananya aku merasa dia ingin mengeluarkan sebatang rokok namun, tidak dia malah mengeluarkan secuil kertas dan bolpoin

"Mau ngapain"

"Mencari semoga"

"Semoga, siapa semoga?"

Dia menarik nafasnya berat dan mulai menulis pada kertas itu. Entah, apa yang dia tulis? Setelah selesai dia meremas dan melemparnya jauh kebalik tembok belakang sekolah.

"Kok lo lempar"

"Mantan gue udah pergi"

"Sama semoga"pertanyaanku seketika membuatnya tertawa.

"Iya"

Dia merangkulku pergi dari belakang sekolah. Aku masih tidak paham masak semoga dicari. Siapa semoga sebenarnya? Nama samaran atau nama sebenarnya. Tapi, kalau nama sebenarnya nggak mungkin.

☁☁☁

Hari ini cukup untuk membuatku galau seharian, semua orang seakan menyalahkan aku. Apa salahku sebenarnya? Lebih baik seperti Naruto saja yang nggak akan peka dan punya teman banyak. Seakan aku telah terkena kutukan orochimaru saja, semua wanita menyalahkan aku atas dasar perasaan. Kenapa harus aku? Pria lain masih banyak kali.

"Kenapa lo? Abis ngejar maling aja."suara itu membuatku hanya membawa tasku dan lekas masuk kamar. "Idih, kaya cewek ngambekan"

Aku hanya menarik nafasku aku sedang tidak ingin berdebat apa lagi baku hatam dengan dia. Rasanya melelahkan, dan tugas akan senantiasa mampir nantinya. Aku merebahkan tubuhku diatas kasur melihat kearah langit-langit kamar yang begitu tertutup tak ada celah sedikitpun namun, kenapa angin yang membawa rindu itu masih terus mengikutiku.

"Aku ragu hanya untuk sekadar menyapamu"gumanku

☁☁☁

KITA DAN WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang