eps 18

50 9 0
                                    

Kenyataan pahit

"Sekarang saya harus melepas segalanya dan mungkin melepas orang yang saya cintai itu adalah salah satunya"ucapnya seakan penuh dengan makna.

"Tapi"

"Mungkin benar kata Kania, memaksakan apa yang bukan milik kita?sama saja dengan aku mengikat sebuah ikatan tanpa rasa Cinta. Dan kamu benar, harusnya saya mengikhlaskan apa yang bukan menjadi milik saya."

"Aku bisa jel-"

"Satu sisi saya pernah menyukai kamu tapi, disisi lain saya bukan apa-apa. Saya hanya wanita lumpuh yang selalu melihat kamu dalam jendela kamar."

Seketika aku dan kania saling melihat tak percaya. Aku kira dia hanya pria kaku yang sibuk dengan buku tebalnya dan tak pernah memperdulikan sekitarnya. Seakan ucapan barusan membuat benteng yang dia buat lama-lama terkikis derasnya hujan. Aku tidak pernah tahu, dia seolah tegar namun, dia rapuh.

"Raina, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku telah-"

"Sekarang semuanya jelas, aku tidak akan membungkam mulut lagi atau mengurung diriku. Aku akan mencoba hidup seperti ini tanpa kamu ataupun laki-laki lain. Aku juga sudah mengikhlaskan dia dalam hatiku untuk selamanya"

"Raina"teriaknya.

"Aku rasa aku harus pergi dimana ya Kania"dia seolah mencari keberadaan Kania yang jelas berada didepannya.

"Raina, dengerin saya"suara Bang Rendy meninggi. "Kamu dengarkan penjelasan saya. Saya tidak ingin kehilangan kamu ataupun membuatmu menjauh dariku. Aku mencintai kamu"

Seketika hatiku seperti tersambar petir kania melirikku sejenak sebelum dia kembali fokus melihat ke mereka. Aku tidak yakin namun, fikiranku campur aduk. Harapanku seketika sinar saat aku tahu ternyata kakakku dan kakak kania saling mencintai. Kenyataan apa lagi ini, rasanya ingin aku usaikan sampai disini. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya tapi, melihat kakakku yang begitu tulus membuatku seketika kehilangan sesuatu yang ada dalam hatiku.

"Apa yang membuat kamu bisa mencintai saya?"

Raina melihatku dengan tatapan sendu,  air mata membasahi pipinya. Dia mengangkat kepalanya ke langit dan kemudian aku sedikit melihat lengkungan bibir yang tidak begitu jelas terlihat.

"Lepaskan aku, anggap saja aku tidak pernah mencintai kamu"

"Kasih aku satu alasan. Kenapa aku harus melupakan kamu?"

Dia menatap Rendy dengan penuh harap, agar pria ini tidak banyak bertanya lagi. Entah, sejak kapan aku bisa membaca gerak tubuh. Tapi, aku tahu jelas bahwa dia berharap Rendy melepaskan dia demi sesuatu. Dia mendorong kursi roda itu dengan susah payah, Kania berlari kearahnya yang aku ekor dari belakang.

"Kita pulang"

"Kak Rain, udah bicara" dia mengangguk pelan. "Kak Rain, kakak kenapa-"

Dia menyentuh tangan Kania begitu lembut dan garis lengkung disudut bibirnya kini benar-benar terangkat sempurna. Memperlihatkan lesung pipit yang berada disana membuat dia tersenyum begitu manis.

"Kita pulang ya"

"Iya Kak,"ucapnya yang melihat kearahku. "Aku duluan ya kak Tama, maaf"

Aku menatap kakakku dengan perasaan campur aduk, aku tidak tahu harus bagaimana. Menatap dia yang frustasi karena Cinta membuatku mengepal kedua tanganku. Entah, setan apa yang merasuk tubuhku aku memukul wajahnya cukup keras. Membuat dia tersungkur ketanah, aku melihat teriakan Kania yang membuatku terjatuh lesu.

"Gue pengecut Tam"suara Lirih itu membuat hatiku makin hancur. Aku melihat dia yang menangis, dia begitu rapuh. "Gue-"

"Diam"teriakku dengan suara yang serak. Air mataku jatuh, Kania yang melihat hanya terdiam dan perlahan duduk di sampingku.

Aku menatapnya dengan mulut yang terbungkam. Air mata yang jatuh tanpa aku minta hatiku hancur, melihat kakakku yang sakit karena penolakan. Sedangkan aku tak mampu untuk menghiburnya. Aku menghentak tanganku ketanah berdiri dan mengkat kerah kemejanya. Satu pukulan hampir mendarat ke wajahnya lagi tapi, tangan yang halus itu mampu menghentikan aku. Dia berdiri tidak sempurna dengan air mata yang tumpah. Celana itu begitu kotor terlihat goretan luka disikunya.

"Jangan sakiti dia"suara itu mampu membuatku melepas kerah itu pelan. Dia hanya tertunduk makin dalam.

Dokter yang selalu berpenampilan rapi itu, menjadi orang yang begitu berantakan. Tidak memilik Wibawa sama sekali, dia seperti orang yang benar-benar hancur hanya karena Cinta.

"Bukannya kamu ingin dia terluka, percuma jika kamu menyakitinya dengan menolak perasaannya. Dia itu pria bodoh, yang hanya mengenal biologi, fisika dan kimia. Hidupnya dipenuhi dengan obat, dan lambang nggak jelas. Tulisan yang seperti cekeran ayam."ucapku dengan keras. "Tapi, lihat sekarang dia hanya pria lemah. Tidak berdaya dihadapan wanita yang dicintainya selama ini. Dokter bodoh yang tidak bisa memahami perasaannya. Dia hanya ingin orang lain bahagia tapi, apa dia pernah mikir akan kebahagiannya. Dia pria arogan, dia pria kasar, tapi hatinya seketika luluh hanya karena satu wanita yang mencintai pria lain yang tak mampu dia selamatkan."

"cukup"ucapnya begitu lirih.

"Bang Rendy, aku bahagia abang berubah. Aku bahagia, ketika abang mengenal Cinta. Tapi, apakah abang harus terluka parah hanya untuk membuat dia tertawa. Abang-"

Aku terdiam ketika kania memegang pundakku dia memejamkan matanya sambil berangguk. Menyuruhku, untuk diam agar ada ruang diantara mereka. Yang tanpa aku sadari membuat dua orang itu terdiam dalam isak tangisnya. Seketika itu abangku merenggutnya dalam dekap tubuhnya. Tangisan Raina terdengar begitu jelas, aku tidak tahu. Sesakit apakah mereka saat ini, yang aku tahu aku hanya terdiam. Air mataku seakan tertahan, dan tak mampu untuk keluar.

"Aku yang egois."gumanku

KITA DAN WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang