[Arsip Tulisan] 3 Mei 2018

1.6K 77 4
                                    

Beberapa detik setelah kepergian Alan, Sinar langsung melancarkan omelannya kembali ke Benny, Coswin, dan Rico. Mengonfrontasi godaan mereka yang melibatkan dirinya secara sembarangan. Sebetulnya, ia juga tidak suka dengan respons Alan yang terkesan jemawa. Tapi tetap saja, kalau tidak karena lidah serampangan ketiga temannya ini, rubah ekor sembilan dalam diri Alan pasti sekarang masih tetap beristirahat dengan tenang dalam jiwanya.

"Gue nggak mau tau lagi. Kalian bertiga Senen pokoknya kudu minta maaf langsung ke Alan. Harga mati. No bargain!" tegas Sinar bak seorang guru BP yang tengah memarahi murid-muridnya. Kedua tangannya ia biarkan terlipat di depan dada. Batinnya dipenuhi rasa gemas bercampur gusar.

"Alan kan juga salah. Lo nggak nyuruh dia minta maaf juga ke kita?" Rico berkelit, masih belum bisa terima dengan perkataan sarkastis mahasiswa asal Kota Hujan itu.

"Lo lupa tadi dia udah bilang maaf? Lagian, dia gitu gara-gara siapa, gue tanya?"

"Gara-gara dia sendiri." Benny merebut kesempatan Rico untuk menyahut.

"Yang dia bilang kalo gue cantik?" Sinar mencoba memperjelas jawaban si Hidung Mancung itu. "Oke, gue sendiri juga sebenernya nggak nyaman ketika dia bilang gitu. Tapi, yang gue nggak habis pikir, harus banget, ya, kalian buat kesimpulan kalo dia naksir gue?"

"Ya abisnya, gelagat dia ke lo tuh ngetarain banget, Nar. Wajar lah kalo kita nyimpulin gitu." Rico memberi justifikasi.

"Oke, gue paham. Gue maklum karena gue udah tau kalo kalian aslinya memang cepat bereaksi terhadap indikasi naksir-naksiran gini. Itu gue. Nah dia? Lo pada udah paham belom dengan tabiat target yang lo ceng-cengin tadi?" tanya Sinar tanpa tedeng aling-aling.

Rico bungkam lagi. Ia benci mengakui ini. Tapi perkataan Sinar memang menyiratkan kebenaran kalau ia, Benny, dan Coswin telah keliru dalam ambil tindakan.

"Kalo gue ibaratin nih ya, yang lo pada lakuin ke Alan tuh kayak nimpukin macan, sementara kalian nggak tau kalo macan itu hewan yang buas. Kebayang, nggak, kalian?" lanjut Sinar, masih mencoba membuka pikiran para sahabatnya.

Meja enam mahasiswa angkatan 2011 itu mendadak hening kembali. Pandangan Sinar sejenak berkelana ke tiga orang yang duduk sebaris dengannya. Benny tampak merengut bertopang dagu. Rico menunduk, menatap hampa jari-jari tangannya. Coswin juga sama muramnya dengan dua lelaki itu. Namun, ia sudah lebih dulu menyetujui semua yang Sinar ucapkan dari awal.

"So, siapa sekarang yang mau objection?" tantang Sinar.

"Lo kata kita lagi main Scrabble," celetuk Benny sambil melirik malas gadis di ujung kanannya.

"HA-HA-HA." Sinar membalas dengan sindiran keras. "Very funny. Very funny."

Benny seketika melengos. Sejujurnya, ia memang tidak bermaksud bergurau sama sekali. Tapi, ia tak paham mengapa Sinar malah memberikan respons yang terdengar begitu menyebalkan di kupingnya.

Di sisi lain, Fatan terlihat menahan tawa. Fokusnya yang sedang membaca buku kalkulus sampai pecah akibat tawa dibuat-buat yang Sinar tunjukkan. Sementara di samping kirinya, Eva masih tetap betah diam menyimak sambil mulai membereskan barang-barangnya.

"Guys, mengertilah." Sinar mengurai lipatan tangannya. Lengan kanannya ganti ia tumpangkan di atas meja. "Don't get me wrong. Gue koar-koar kayak gini juga demi kebaikan bersama. Kalian setuju, 'kan, kalau nggak semua orang yang kita godain itu bisa bereaksi oke-oke aja? Nggak semua orang punya sifat easy going kayak kalian? So, please, temen-temenku tersayang. Gue menghimbau nih. Lain kali, tolong lebih hati-hati, ya, kalau ngomong. Gue nggak ada maksud gelar lapak kultum di sini. Tapi, bukankah kita sebagai manusia memang sudah sepatutnya saling ngingetin satu sama lain kalo ada yang khilaf? Iya, tho?"

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang