[Arsip Tulisan] 27 Juli 2019

1.7K 96 24
                                    

Sebuah sepeda motor automatik hitam datang dan terparkir di pekarangan Wisma Rahajeng. Bude Irma baru saja tiba dari Pasar Gede. Ditaksirnya sekarang sudah ada pukul sembilan pagi. Grasah-grusuh, wanita berbaju lorek itu mencabut kunci kontak yang masih menancap, lalu mengambil tiga kantong plastik besar bermotif zebra di cantelan kendaraannya. Bude Irma meringis, berjalan agak sempoyongan. Dijinjing oleh kedua tangannya, semua kantong itu terasa memedihkan buku-buku jari beliau, sebab di dalamnya terdapat berkilo-kilo tepung, gula pasir, telur ayam, beserta belanjaan lainnya yang mencakup sayuran dan bumbu.

Sambil menggesek-gesekkan tapak kakinya di atas keset gombal, Bude Irma memekikkan salam dalam bahasa Arab. Ada satu daun jendela depan yang tersingkap sehingga beliau dapat langsung mendengar jelas balasan dari Sinar dan ibunya. Masuk ke ruang tamu, wanita itu mematung sebentar ke arah jam dinding. Bisa beliau lihat, di situ kedua jarumnya membentuk sudut 120°. Jarum pendek menunjuk angka sembilan, sementara jarum panjang menunjuk angka satu.

Sontoloyo! Bude Irma mengutuki si pedagang telur ayam. Kalau saja perempuan muda itu tak kelamaan mencari uang kembalian, beliau yakin pasti tadi bisa sampai di rumah lebih cepat. Mungkin sekurang-kurangnya sepuluh menit lebih awal sehingga rasa sungkannya terhadap Sinar tak perlu bertambah-tambah.

Tiap Jumat, kuliah pertama gadis itu dimulai pukul 09.30. Bude Irma bukan tipe orang yang mau bertindak sesuka hatinya jika sedang membutuhkan bantuan Sinar. Beliau pasti selalu berusaha memburu waktu agar kembali sebelum jam sembilan. Barangkali memang sedang apes, begitu pikirnya setelah memutuskan keluar dari pasar.

Saat ruang keluarga tertentang, Bude Irma segera menjatuhkan diri bersama barang-barang belanjaannya di samping kanan Sinar. Mereka bersama Mbah Uti kini sedang duduk berlesehan di atas sebuah karpet cokelat keemasan. Karpet tersebut merupakan alas duduk favorit penghuni rumah dan biasanya hanya digulung sewaktu lantai hendak disapu. Di depan mereka tampak layar televisi sudah menampilkan nama-nama kru opera sabun yang bergerak lurus ke atas. Sesuai prediksi Bude Irma, lepas mengetahui sebab keterlambatannya, sikap Sinar masih tetap terjaga seperti biasa. Tanpa mengeluh, ia bersedia memaafkan. Tanpa raut keruh, ia menganggap hal itu terjadi di luar kehendak induk semangnya. Mendadak, Bude Irma jadi teringat dengan Rahajeng. Seandainya putri sulungnya itu masih hidup, ia pasti akan senang jika memiliki kawan sebaya seperti Sinar.

"Kalau gitu, Sinar permisi mau cuci ini dulu, ya, Bude." Mahasiswi asal Jakarta itu meraih gelas kaca di depan Mbah Uti. Gelas berkapasitas 400 mililiter yang tinggal berisikan jahe gepuk dan titik-titik air. Itu adalah bekas wedang jahe buatannya sendiri. Dibuat saat sebelum Bude Irma pergi menggelontorkan uang belanjanya.

Inilah yang membuat Sinar makin mentereng di mata beliau. Mengetahui keadaan Mbah Uti yang sedang masuk angin, gadis itu tidak mau hanya sekadar menunjukkan sikap prihatin dan diam saja menonton kebaktian seorang anak yang telaten mengeroki ibu kandungnya. Ia juga ingin ikut serta berkontribusi. Teringat betapa ampuhnya wedang jahe dapat menghangatkan tubuhnya saat di Galabo, satu tekad muncul dalam diri Sinar untuk mencoba eksperimen pertamanya. Untunglah semua bahan yang ia perlukan masih tersedia di dapur Bude Irma. Bermodalkan air panas, madu, dan dua jahe merah yang dipukuli dengan ulekan, niat Sinar berhasil diwujudkan dengan baik. Hangat minuman berkhasiat itu bahkan menyebar hingga merasuk ke dalam sanubari Mbah Uti.

"Weh, ladalah, bocah iki." Bude Irma merebut benda tabung yang Sinar pegang, lalu meletakkannya di ujung karpet. Melihat ketakberdayaan gadis di sebelahnya, Mbah Uti terkekeh-kekeh. "Nanti biar Bude saja. Ayo, sekarang Bude antar dulu ke kampus."

"Sinar jalan kaki saja, Bude." Gadis berpakaian merah muda dengan celana jins itu mulai memanggul tasnya. "Nggak apa-apa. Ini masih jam sembilan kok. Insyaallah nggak telat."

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang