[Arsip Tulisan] 6 Maret 2020

1.2K 60 10
                                    

"Yang semalem nelpon kamu itu Mas Davi, ya, Sin?" Keira memberanikan diri memulai percakapan. Ia, Sinar, dan Coswin sedang menyarap nasi liwet di ujung Jalan Kayangan.

Tepat sebelum percabangan yang memisahkan arah rumah kos Davi dan Rico, di situ ada rumah Bu Rahmi yang beliau gunakan sekaligus sebagai tempat usaha. Seperti yang sedang disinggahi tiga mahasiswi itu, Bu Rahmi selalu menyediakan tikar untuk setiap pembeli nasi liwet yang ingin makan langsung di tempat. Senin sampai Sabtu pagi dagangannya selalu laris. Hari Minggu libur. Para calon pembeli harus siap keluar rumah sebelum jam delapan jika tidak mau kehabisan.

Coswin mendelik, nyaris tersedak. "Mas Davi semalem nelpon?"

"Iya." Sinar menjawab sambil mengorak-arik nasi dan sayur labu siamnya.

"Wah, bagus dong! Berarti dia nggak marah sama kamu."

Keira memperhatikan Sinar mengunyah. Temannya itu tampak seperti menerawang. "Kamu kenapa, Sin?"

"Ha?" Sinar terdiam sebentar, lalu menyadari pertanyaan Keira. "Oh ... ini, Kei ... aku kepikiran soal yang dibilang Mas Davi semalam. Dia berharap nanti aku bisa ikut international conference di bidang teori graf. Namanya ICACGT."

"Kamu pasti bisa, Sin."

Sinar tersenyum. "Makasih, Kei. Tapi, kadang aku masih mikir, apa aku bisa? Mas Davi yang pinter aja paper-nya masih belum lolos."

"Kalau memang rejekimu, pasti bisa. Kamu jangan mikirin apa yang pernah kamu bilang di kamarku."

"Memang Sinar pernah bilang apa?"

Keira melirik Sinar. Mengarahkan Coswin agar mendengar jawabannya langsung darinya.

"Ada perbedaan yang besar antara aku sama Mas Davi. Itu yang buat aku dulu nggak berani naruh rasa suka ke dia."

"Perbedaan? Perbedaan gimana?" Coswin meninggikan suaranya. Di dalamnya mengandung nada penyangkalan.

"Hmm .... Masih terlalu pagi nggak sih buat ngomongin ini?"

"Nggak! Kecuali kamu nganggep aku sama Keira ini kalong yang buru-buru mau pulang ke goa."

Sinar tertawa. Ia meletakkan piring, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Intinya sih dulu aku ngerasa belum pantes aja nyimpen rasa suka ke Mas Davi. Bayangin, aku mahasiswi semester satu. Prestasiku belum banyak. IP semester satu aja terancam nggak nyampe tiga. Masih banyak hal dari diri aku yang harusnya diperbaiki. Makanya aku ngasih sugesti ke diri sendiri untuk nahan biar nggak suka. Dan, ya ... sempat berhasil. Tapi ternyata nggak bisa. Apalagi pas aku balik dari Galabo sama dia."

Coswin mengingat-ingat sebentar isi pesan Sinar di Minggu pagi itu. Setelah memaksanya sekali lagi lewat SMS agar menceritakan kebersamaannya dengan Davi, Coswin akhirnya bisa tersenyum puas. Ia jadi tahu Sabtu itu Sinar telah bertemu Bu Sarah dan merasakan bagaimana enaknya makan malam di Galabo. "Kalau gitu, lanjutin aja. Label 'belum pantes' itu kan datangnya cuma dari pikiran kamu. Aku ngeliatnya pantes-pantes aja kok."

"Kenapa kamu bisa nilai kalau aku pantes?"

Coswin menarik napas. "Gini, ya, Non. Pertama, siapa sih yang bisa ngatur perasaan suka kita buat seseorang? Asal kita tau batas-batasnya dan siap nanggung apa pun resikonya, menurutku sih nggak masalah. Kedua, menurutku adalah suatu kewajaran kalau dia punya pencapaian yang lebih banyak dari kamu. Dia kan lahir duluan. Dia gali pengalaman lebih dulu daripada kamu. Lagian, kamu liatnya juga cuma dari kacamata akademik. Belum tentu perkara nonakademik dia lebih unggul dari kamu. Dan boleh jadi, justru hal ini yang jadi pertimbangan utama Mas Davi buat milih calon pacarnya. Sampe sini bisa diterima?"

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang