[Arsip Tulisan] 6 Januari 2019

2.5K 82 32
                                    

Pernah Pak Ardi mendengar dari mendiang sang mama bahwa sahabat sejati akan selalu melekat di hati. Sahabat sejati akan selalu menjunjung tinggi toleransi. Sahabat sejati umpama hujan di musim kering. Sahabat sejati seperti sweter di musim dingin. Sahabat sejati bak payung yang menangkis gerimis. Sahabat sejati bagaikan kartika yang menghias langit. Sahabat sejati ibarat cat yang mewarnai dinding. Sahabat sejati laksana teja yang menghibur bumi.

Ya, beliau setuju. Tidak diingkarinya sama sekali. Bahkan jika boleh ditambahkan, pria beranak dua tersebut akan menganggap sahabat sejati tak ubahnya lencana kehormatan. Kini, hingga usianya mencapai kepala empat, meski sudah lama tak bersua hingga Piala Dunia lima kali lewat, meski telah disematkan pada zaman Pak Harto hingga sekarang tiba zaman periode kedua Pak SBY, lencana itu sepenuhnya masih tetap layak dipegang oleh Albert Rahman Siregar dan Airin Rahmawati. Dua insan yang selanjutnya menapaki graf takdir sebagai suami istri.

Albert, sosok gempal bersuara lantam itu, dikenalnya sejak duduk di bangku kelas dua SMA. Asli Sumatra, pindahan dari Kota Melayu Deli. Semenjak sang ayah wafat, ibunya menikah lagi dengan seorang karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta Selatan. Orangnya humoris, supel, ringan tangan (dalam arti yang baik), tapi juga ambisius dan blak-blakan. Ia tak akan segan-segan bilang jelek kalau memang jelek dan bagus kalau memang bagus. Tentunya perilaku ini juga sering ia sesuaikan dengan kondisi dan situasi, meskipun karenanya tak jarang orang masih tetap merasa tersinggung.

Kau ini pengecut, ya, ternyata.

Begitulah kesan paling menohok yang pernah Pak Ardi dapatkan di hari pertama mereka bertemu. Rongseng bukan main rasanya kala itu. Padahal mereka belum ada setengah jam berbagi kisah sebagai kenalan baru dan teman sebangku. Tetapi Albert muda sudah berani main hakim, main tikam, seakan-akan ingin mengajak ribut.

"Waduh, Sin. Cuma dua kata aja yang bisa Om kasih sebagai komentar. Makan ati," kata Pak Ardi sesaat setelah beliau dan dua anak muda yang melangkah bersamanya sampai di depan Warung Pokwe Rahayu. Alih-alih menggunakan "Pak", beliau meminta Sinar untuk memanggilnya dengan sapaan "Om" saja agar lebih dekat.

Anak gadis Pak Albert itu cekikikan. "Kalau Mama gimana, Om?"

"Wah, kalau mamamu lebih gondok lagi. Itu mereka berdua baru bertemu, tapi lagaknya sudah seperti musuh bebuyutan."

Airin memang pernah sebegitu sebalnya dengan Albert. Kalau kawan belajar sedari kecilnya sempat dibilang pengecut, gadis Jakarta keturunan Sunda ini langsung dikatai slebor. Padahal saat pertama kali melihat Albert, batin Airin terasa begitu girang dipenuhi animo. Senang, sebab dirinya seperti berada di kelas yang sama dengan seorang aktor. Namun, sayang. Gara-gara mempermasalahkan rambutnya yang acakadut dan baju seragamnya yang keluar sedikit dari dalam rok, lelaki itu jadi dipandang bak ketungging yang tak seronok.

Iyuh!

Lantas, bagaimana ceritanya mereka bertiga bisa jadi sahabat karib? Atau lebih tepatnya, bagaimana bisa Ardi dan Airin menyambut baik kehadiran si pemuda tengik?

Semua berawal dari keaktifan Albert di kelas matematika. Setiap Pak Guru menawari pengerjaan soal di papan tulis, siswa pindahan ini tidak pernah absen mengangkat tangan. Berbeda sekali dengan teman sebangkunya yang hobi memendam jawaban. Lama-kelamaan Ardi pun heran. Setelah diperhatikan, ternyata Albert tidak pandai-pandai amat. Tidak semua pertanyaan selalu mampu ia jawab dengan tepat. Sering banyak salahnya malah. Tapi kenapa makhluk berjakun satu ini bisa dengan begitu percaya dirinya menunjukkan muka?

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang