[Arsip Tulisan] 22 November 2020

908 58 14
                                    

Harum buah apel memenuhi koridor lantai tiga Gedung Beta. Ubinnya baru saja dipel, tetapi sudah begitu saja diinjak-injak para mahasiswa yang berhamburan keluar dari ruang kuliah. Satu demi satu langkah ikut Davi ambil di sana bersama Pak Anton, menjauhi kelas Matematika Diskret I. Ruang akuarium hendak mereka tuju. Kesepakatan sudah tercapai tadi malam, sebelum Davi sempat mengistirahatkan mata. Sambil terus berjalan, mereka tak saling berkata, menghindari tatapan orang-orang. Waktu sedang tidak tepat untuk menerima berbagai bentuk sapaan.

Pak Anton yang biasanya berjalan tegak itu merunduk gelisah. Semakin dekat jarak menuju ruangannya, semakin berat beliau mengambil langkah. Dalam hati, Pak Anton merasa tertekan. Tiga semester bekerja sama, baru kali ini beliau dibuat berdebar-debar oleh asistennya.

"Saya mohon dengan kerendahan hati, Bapak mau menjelaskan mengapa Mas Ivan bisa disetujui maju *sidprop, sementara penelitiannya sama persis dengan punya saya." Seperti biasa, begitu duduk menghadap dosennya, mahasiswa berkacamata itu langsung mengatakan tujuan.

*) Sidang Proposal

"Davi ...." Pak Anton mendadak berhenti mengucap. Sambil menyiapkan diri, pandangannya ia arahkan sebentar pada kemeja blue aster yang Davi pakai. "Kamu tidak perlu panik. Saya sudah memikirkan topik skripsi yang lebih bagus buat kamu. Dan saya yakin, kamu tidak akan lama untuk mengerjakannya."

"Dengan segala hormat, saya juga sudah punya pemikiran sendiri, Pak. Ada topik graph labeling yang saya minati meskipun kelas grafnya baru terpikir satu."

Pak Anton mengangguk-angguk lesu. Rambut hitamnya yang belah pinggir tertata rapi. Warna pakaiannya terkesan muda. Usia beliau pun tidak berselisih jauh dari Pak Ardi. Tetapi, Davi melihat wajah Pak Anton sudah diserang banyak kerutan. Tampak begitu tua. "Saya tahu. Kamu memang mahasiswa yang brilian. Saya barusan hanya menawarkan alternatif."

"Sayangnya, tawaran tersebut tidak menjawab keingintahuan saya, Pak. Saya butuh alasan. Saya butuh tahu, mengapa Bapak mengambil keputusan tanpa mendiskusikannya dahulu dengan saya? Maaf kalau saya lancang. Saya hanya tidak mengerti, sebab yang saya tahu, Bapak sangat berharap saya bisa merampungkan penelitian itu dan mempresentasikannya di ICACGT tahun depan."

Pak Anton belum langsung menjawab. Saat beliau tengah merangkai kata-kata di kepalanya, suara serak Pak Sinaga di luar yang tengah bergurau dengan Bu Aryati mengiringi. Davi masih terpaku mengamati raut lawan bicaranya yang jeri.

"Saya minta maaf, Dav," kata Pak Anton beberapa detik kemudian.

Davi menunggu. Batinnya mengentak-entak tak sabar, memperkirakan apakah akan ada nama Haris dalam penjelasannya.

"Saya minta maaf. Seharusnya kemarin saya tidak terlalu buru-buru memberikan topik itu ke kamu. Ini salah saya yang kurang komunikasi sama Ivan. Waktu dia magang kemarin, dia memang sempat bilang tertarik untuk mengerjakan penelitian itu. Pakai graph coloring, katanya. Tapi, waktu kamu masuk ke tim riset saya, dia belum ngasih konfirmasi apa-apa lagi. Dan saya lupa. Makanya, serta-merta saja saya berikan itu ke kamu."

Davi berusaha mengatur emosi. Meski hatinya cenderung memercayai kesaksian Sinar di Mathematics Learning Space, ia tetap akan menggali alasan Pak Anton lebih dalam. "Tapi, mengapa saya tidak dilibatkan dalam kompromi, Pak? Bukankah saya berhak tahu sebagai mahasiswa yang sedang Bapak bimbing?"

"Jadwal sidpropnya sudah terlalu mendesak, Dav. Ivan juga sudah mempersiapkan proposalnya. Tinggal sidang. Kalau topiknya diganti, dia harus nulis proposal lagi dari awal." Pak Anton menatap Davi dalam-dalam. "Saya harap ini bisa dimaklumi, ya, Dav. Apalagi semester depan Ivan sudah nggak ambil kuliah. Tinggal skripsi."

Jadi, usaha saya untuk menjadi pemakalah di ICACGT tidak bisa untuk dimaklumi?

Sambil menanggung keluhan itu, Davi beralih menatap meja Pak Anton. Ia melihat posisi pulpen, pensil, penghapus, penggaris, dan rautan di sana yang tak beraturan, mirip seperti gambaran suasana batinnya saat ini.

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang