[Arsip Tulisan] 4 April 2020

1.1K 71 16
                                    

Fatan sudah membalas SMS ajakan Coswin, memberitahukan bahwa cowok itu sudah berada di kampus sejak jam sepuluh pagi. Di kamar kos, Fatan sulit berpikir. Rambutnya yang keriting makin keriting. Kepalanya yang pusing, makin pusing. Sebentar-sebentar ia harus mendengar bunyi pukulan palu yang seakan-akan sedang memukuli kepalanya sendiri. Kamar sebelah sedang direnovasi, jadi ia memutuskan pergi ke perpustakaan.

Sinar dan kawan-kawan agak heran ketika menjumpai Fatan di depan masjid kampus. Melihatnya hari ini serasa seperti melihat buah lemon di etalase supermarket. Segar. Bajunya kuning mentereng, kontras dengan warna kulitnya yang agak gelap. Selama di kampus, tidak biasanya mereka melihat Fatan memakai pakaian yang ngejreng seperti itu.

"Dalam rangka apa, Tan?" tanya Rico. "Jangan bilang gara-gara mau ketemu Mas Davi."

"Kamu salah alamat, Ric. Itu kan jurus sakti buat Sinar."

"Nah, nah, nah." Mata Sinar memelotot. "Dah makin tengil, ya, sekarang!"

Fatan langsung menghindar ketika Sinar hendak mencubit lengannya. Rico dan Coswin kompak tertawa-tawa, sementara Puput tetap mengatupkan bibirnya. Kalau tidak ingat mau salat, dua teman mereka itu pasti kini sudah dalam posisi mengejar dan dikejar selayaknya Tom & Jerry.

Di perpustakaan, mereka memilih tempat seperti biasa. Di ruang diskusi dan menempati salah satu meja timur yang mepet dengan jendela. Pemandangan pepohonan dan gedung-gedung terlihat sangat menarik dari sini. Kadang Coswin dan Sinar iseng berfoto bersama dengan latar belakang itu jika kerja kelompok mereka sudah selesai.

Sambil mengambil wafer bawaan Sinar, Rico sempat bertanya ke Fatan tentang progres tugas Biologi-nya. Tugas ini adalah tugas terakhir, bersifat individual, dan baru diberikan dosen mereka pada hari Selasa lalu. Perkiraan Rico benar. Sisa soal yang belum Fatan kerjakan sekarang tinggal delapan butir lagi. Di saat para sahabatnya belum memulai, ternyata pemuda Lampung itu sudah berhasil menyelesaikan sebanyak tujuh belas soal. Urut, tanpa melompat-lompat.

Rico dan Sinar seketika jadi saling pandang. Bola mata mereka yang cenderung cokelat kehitaman seolah-olah berkata, "Kita aja masih suka kebalik bedain mana yang purin, mana yang pirimidin, si Fatan tau-tau dah ngegas aja sampe metagenomik."

Tapi, sembilan puluh menit siang itu akhirnya benar-benar menjadi waktu yang berkualitas. Setidaknya, kertas folio Sinar kini sudah terisi dua belas jawaban. Begitu juga dengan Coswin, Rico, dan Puput. Fatan sudah selesai. Ia berjanji akan membantu mereka berempat jika ada sisa soal yang sulit mereka jawab.

"Eva mana, Put? Kok tadi nggak keliatan di aula?" tanya Sinar. Mereka berdua kini sedang berada di balkon lantai lima Gedung Teta. Sebelum berniat meninggalkan perpustakaan, tadi mereka beranjak dulu ke toilet. Lalu, setelahnya, Sinar meminta tolong Puput sebentar untuk mengambilkan gambar dirinya di sini. Coswin, Rico, dan Fatan masih setia menunggu di ruang diskusi. Sibuk mengisi TTS online.

"Dia di rumah, Sin. Lagi nggak enak badan katanya," jawab Puput sambil memotret Gedung Zeta yang berhiaskan langit biru. "Coswin sama Rico itu wis jadian, tho?"

Sinar tersenyum tipis. Baru saja ia ingin melontarkan pancingan, ikannya malah sudah datang duluan. Dari caranya bertanya, Sinar yakin Puput sudah memperhatikan gelagat sepasang kekasih baru itu di ruang diskusi. "Aku bakal jawab kalau kamu jawab duluan pertanyaanku."

Puput menurunkan ponselnya. "Memang kamu mau tanya apa?"

"Bener ... kamu sama Eva pernah ngomongin aku di CFD?"

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang