[Arsip Tulisan] 5 November 2019

1.6K 93 34
                                    

"Haris sudah cerita ke saya. Nggak seharusnya kamu nantangin Mas Ivan dengan mengorbankan kuliah kamu."

Sinar melengos. Salah satu kemungkinan yang hadir di pikirannya telah terwujud. "Saya baru sekali ini bolos TekInfo. Nggak akan berefek besar buat nilai akhir saya."

"Yakin? Kamu bisa jamin beberapa pertemuan berikutnya bakal masuk terus?"

Sinar bergeming. Enggan membalas.

"Kamu juga yakin bakal baik-baik saja kalau hari ini nggak dapat nilai Excel?"

"Nilai Excel?" Mahasiswi itu geragapan.

"Iya. Saya tadi papasan dengan Pak Agus Budiono. Sebelum naik ke kelas TekInfo, beliau bilang hari ini ada pengambilan nilai fungsi statistika."

Sinar menggigit bibir bawahnya. Tenggorokannya serasa tersumbat. Duh, gimana ini? Ia lupa kalau di awal perkuliahan dulu Pak Agus pernah berujar bahwa suatu saat akan diadakan ujian mendadak. Sinar pikir itu tidak serius. Lagi pula, sebelum ini beliau selalu memberi tahu terlebih dahulu kapan waktunya. Bahkan kisi-kisinya.

Sinar memikirkan, apakah ia masih bisa dapat kesempatan kedua? Walaupun pengambilan nilai praktik itu hanya semacam kuis, tetap saja itu namanya ujian. Dan di setiap ujian, tentu ada nilai yang akan berpengaruh besar terhadap angka di informasi hasil studinya.

Davi menghela napas. "Kamu ingat ..., waktu di MaLeS, saya pernah mengutarakan ... bahwa prinsip saya adalah tidak mau menguntungkan diri dengan merugikan orang lain. Hari ini saya malah buat kamu dapat tanda silang di buku presensi kuliah. Plus kosongnya nilai ujian."

"Mas Davi nggak melanggar prinsip sama sekali kok." Sinar merespons tegas. "Ini kemauan saya sepenuhnya. Ingat ... apa yang Mas tulis di surat? Mas sendiri yang bilang kalau nggak akan ikut campur lagi dengan pilihan hidup saya."

Davi termenung sesaat, menyadari perubahan cara bicara adik tingkatnya. "Kamu jelas nggak ngerti. Yang saya tulis itu berlaku demi kepentingan kamu sendiri. Bukan menyangkut saya. Dalam hal ini, saya berhak ikut campur."

"Setidaknya saya ingin memperbaiki keadaan."

"Atas apa yang dulu kamu pilih? Karena menyembunyikan apa yang kamu dengar di ruang akuarium itu dari saya?"

Azan asar mengumandang, masuk ke sela-sela tingkapan gedung. Panggilan salat itu mengisi jeda pertikaian di antara mereka.

"Saya ... saya sudah bilang kalau saya bingung." Sinar mulai tergaguk-gaguk. "Saya nggak punya bukti."

"Terus apa bedanya dengan sekarang?" Napas Davi kembang kempis. Ia sudah gelap mata. Tanggapan Sinar membuat kegusarannya kian memuncak. "Walau nggak ada bukti, saya nggak pernah menelan perkataan orang mentah-mentah. Kalau itu menyangkut kepentingan saya, saya bakal tetap cari tahu. Nggak peduli informan itu bohong atau nggak. Sayangnya waktu nggak bisa diputar balik."

"Saya minta maaf, Mas." Sinar merunduk. Tak berani lagi menatap netra tajam Davi. "Untuk sekarang ... memang itu penyesalan terbesar saya."

Davi mengejap-ngejap. "Bukan saya yang seharusnya kamu mintai maaf. Tapi diri kamu sendiri."

Sinar menutup pelan dari luar pintu salah satu ruang di koridor selatan. Dari dalam, setidaknya, ia sudah menggenggam sebuah kepastian.

[Arsip] Dear Mr. EulerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang