Lapangan basket perlahan sepi. Dilihatnya Mahesa sedang berdiri sembari meneguk air mineral ditangan kirinya. Ia menggeleng pelan seraya membatin,
'Udah berdiri, pakai tangan kiri lagi.'
Disampingnya duduk Diva yang sedang menyiapkan kamera dan beberapa buku catatan. Biasalah anak jurnalis. Ia berganti memperhatikan Diva. Cewek itu cantik, mata nya bulat besar dan senyumnya sangat manis karena berlesung pipi dikanan kiri. Sayang, dia tidak berhijab. Bukankah semua wanita akan makin cantik jika Ia berhijab?
"Yuk, Nav. Lapangannya udah sepi tuh." Mata Diva melirik kearah lapangan yang memang sudah sepi. Hanya tersisa tim basket yang duduk salah satu sudut lapangan. Navya mengangguk. Ia mengikuti Diva dari belakang.
"Permisi kak, saya Nadiva dari klub Jurnalistik. Bisa nggak saya wawancara seputar pertandingan basket tadi?" Diva mencoba langkah pertama, perkenalan. Yang diajak Diva bicara adalah Mahesa. Mahesa mendengus pelan lalu melempar tatapannya kearah Adam yang duduk menselonjorkan kakinya. Diva paham akan hal itu. Seakan hafal akan diperlakukan Mahesa seperti itu.
Lagi lagi Ia mengikuti Diva beranjak menuju pria yang bernama Adam tadi.
"Lo silahkan tanya apa aja deh, tapi jangan banyak-banyak. Tim basket masih ada urusan abis ini." Adam bersuara yang dibalas anggukan dari Diva.
Saat Diva sibuk dengan Adam, Ia bingung harus berbuat apa. Garing. Ya, menunggu Diva sangat membosankan. Ia mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru lapangan. Tanpa sengaja, mata nya menubruk iris hitam tajam milik Mahesa yang ternyata sedang memperhatikannya. Ia seketika salah tingkah. Bagaimana mungkin Ia menatap mata seseorang yang bukan mahromnya? Arrgghh..
**
"Maaf Nav, tadi gue kira gue bakal dijemput pakai mobil. Tapi ternyata mobil gue lagi di servis karena abang gue abis kecelakaan kemarin." Wajah Diva menunjukkan sikap bersalah padanya. Jadi ceritanya tadi gini, awalnya Diva mengajaknya untuk pulang bersama naik mobil Diva. Alhasil, Ia tak perlu repot-repot chat Whatsapp tetangganya untuk menjemputnya. Sekali lagi, manusia memang boleh berencana, tapi tetap Allah yang akan berkendak. Itulah takdir. Dan sore ini, takdirnya sepertinya tidak menguntungkan.
"Gak papa Div, aku bisa kabarin kakak buat jemput." Ia tersenyum.
"Yakin gakpapa?" Ia mengangguk membuat secercah kelegaan hadir di wajah manis Diva.
"Sekali lagi, sorry banget ya Nav. Lain kali gue traktir buat nembus kesalahan gue." Janji Diva yang dibalasnya dengan acungan jempol.
Deru motor Diva mulai terdengar. Diva melambaikan tangannya yang dibalasnya dengan hal yang sama sampai pada akhirnya bayangan motor Diva lenyap dari pendangannya. Ia melirik jam yang melingkar ditangan kirinya. Sekarang pukul 5 sore. Kemungkinan mendapat bus sangat kecil. Ponsel nya mati karena lowbat sedang langit mulai bergemuruh dan berubah menjadi mendung.
Ia mencoba berpikir. Ia bimbang. Haruskah Ia berjalan kaki sampai rumah? Sebenarnya tidak mustahil, tapi itu akan memakan banyak waktu dan tenaga. Ingin rasanya mengeluh. Kenapa Ia tidak sanggup merepotkan Diva? Salah. Bukan itu yang perlu disesali. Tapi yang harus disesali adalah, kenapa Ia tak bangun lebih pagi biar bisa men-charge ponselnya?
Pak Rozak memperhatikannya sedari tadi. Pak satpam sekolah itu melepar senyum kepadanya yang Ia balas dengan senyum juga. Yes, aku dapet ide, batinnya. Ia segera mendekat ketempat pak Rozak berdiri.
"Assalamualaikum pak Rozak." Salamnya. Sedari kecil, Bunda sudah membiasakannya untuk mengucap salam ketika bertemu orang lain. Karena salam adalah doa keselamatan. Bukankah menebar keselamatan itu bermanfaat?
Pak Rozak dengan cengirannya menjawab, "Waalaikumsalam neng Navya." Jangan heran kenapa pak Rozak bisa mengenali nya yang notabene adalah murid baru. Kata pak Rozak, dia adalah satu-satunya siswa yang pakai jilbab longgar. Karena mayoritas disini siswa nya tidak berjilbab, ada yang berjilbab tapi jilbab nya kecil yang biasanya hanya dibelitkan dileher.
"Pak Rozak belum pulang?" oke, ini basa-basi.
"Belum neng. Bapak jaga malem soalnya.." jawab pak Rozak seraya mengangkat bangku untuknya. "Silahkan duduk neng." Lanjutnya.
"Makasih pak." Untuk menghargai jamuan pak Rozak yang menyediakannya bangku, Ia memutuskan untuk duduk.
"Navya kesini mau minta tolong boleh? Navya butuh payung buat pulang. Langitnya mendung kayaknya bentar lagi mau hujan. Besok Navya kembaliin." Pinta nya.
"Oalah mau pinjem payung to? Boleh boleh. Bentar biar bapak ambilkan dulu." Pak Rozak masuk kedalam pos satpam dan mengambilkannya payung untuknya. Saat sudah mendapat payung tersebut Ia segera berpamitan pulang dengan pak Rozak dan mengucap banyak terimakasih.
**
Mahesa berdiri dihadapan jendela yang mengarah kehalaman depan sekolah. Tanpa sengaja, bola matanya menangkap wajah cewek yang berjilbab tadi dilapangan sedang mengobrol dengan pak Rozak, satpam sekolah. Ia terus memperhatikan cewek tersebut yang sekarang sedang menerima uluran payung dari pak Rozak. Cewek itu tersenyum pada pak Rozak. Sangat terbaca raut kegembiraan yang muncul dari wajah cewek itu. Matanya tetap mengekor pada cewek itu yang sekarang mau menyebrang jalan. Dan hujan mulai turun setelah cewek itu menyebrang. Dilihatnya cewek itu berjalan menyusuri trotoar sambil mengangkat sedikit rok nya yang panjang.
Dasar kurang kerjaan.
Udah gede masih doyan ujan-ujanan. Pikirnya.
Walau sebenarnya, jauh didalam benaknya Ia tak mengatakan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Weird
SpiritualKita memang selalu memiliki rencana. Terutama akan masa depan hidup. Tapi, bukankah semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz-Nya jauh sebelum kita diciptakan? Allah menentukan takdir, namun Allah memberi kesempatan kita untuk bisa merubahnya. Sekali l...