12

81 15 7
                                    


Suara gemericik air terdengar dari kamar Navya. Dingin udara tak pernah menjadi penghalang untuk dirinya bisa bercengkerama dengan sang Pencipta. Navya selalu merutinkan aktifitas ini semenjak Ia di Pesantren. Menempuh pendidikan tiga tahun di Pesantren cukup membuat mind set gadis itu terprogram untuk selalu bangun disepertiga malam.

Tidak mudah mengalahkan hawa nafsu yang terus-terusan memaksanya untuk tetap terlelap seraya berselimut tebal mengalahkan dinginnya malam. Namun disitulah istimewanya. Saat kita menjadi si minoritas dalam hal kebaikan. Terlebih ini menyangkut langsung dengan Tuhan.

Sajadah cokelat pemberian Ayah saat hari ulang tahunnya keenam itu sengaja Ia bentangkan menghadap kiblat. Diangkatnya kedua tangan sejajar dengan telinga sebagai wujud dari awal gerakan shalat, takbiratul ihram. Diikuti gerakan setelahnya hingga Ia tenggelam dalam kekhusyukkan shalat qiyamul lail itu.

Jika biasanya setelah shalat tahajud Ia akan tertidur seraya menunggu adzan subuh, yang kali ini Ia tak akan membiarkan dirinya tertidur sebelum adzan subuh. Ia baru saja teringat jika hari ini akan ada pre-test Matematika. Jadi, Ia harus sedikit mengulang beberapa materi yang akan diujikan. Ia tidak ingin mendapat nilai jelek. Ia sudah bosan mendapat bad result disetiap kali mapel itu diujikan.

Semua gara-gara Sultan. Awalnya semalam Ia hanya ingin berpura-pura tidur untuk menghindari pria pemaksa itu. Namun justru yang dilakukannya kelewat batas. Ia ketiduran. Mungkin Ia kelelahan karena banyak menangis hari itu. Ia tersenyum mengingat rentetan kejadian kemarin. Semakin banyak pengorbanan yang dilakukan seorang wanita, maka akan semakin banyak air mata yang dikeluarkannya. Karena sejatinya air mata wanita itu adalah bukti perjuangannya. Right?

**

"Selamat pagi, Bunda" Bunda yang sedang mengawasi sop diatas kompor sedikit terkejut saat merasa pinggang nya ada yang memeluk. Navya menyengir lebar saat mendapati wajah terkejut sang Bunda.

"Kamu ngagetin aja deh" gerutu Bunda. Yang diomeli justru tertawa.

"Bunda ih. Itu tuh ya namanya sambutan romantis." Bunda menggeleng-gelengkan kepala. Heran. Navya kecil nya sekarang sudah beranjak menjadi orang dewasa.

"Sekarang kamu sarapan dulu. Nav mau makan yang mana dulu?" Navya menatapi satu persatu lauk yang sudah terhidang diatas meja. Bunda sepertinya masak besar. Tidak biasanya Bunda masak sebanyak ini.

"Bunda masak banyak banget. Buat apaan?" Bunda tersenyum seraya mengulurkan piring untuknya.

"Kemarin Sultan minta dibuatin rica ayam. Katanya udah lama nggak makan rica," balas Bunda santai. Bisa-bisanya Sultan request masakan sama Bunda. Ia mendengus kesal.

"Jadi ini semua buat Sultan nih?" Ia cemberut. Bunda nya itu terlalu menuruti keinginan si anak sulung. Bunda kelewat baik.

"Kata Sultan kemarin kamu lagi pengen banget makan rica ayam. Yaudah Bunda masakin sekalian. Kebetulan kalian sama-sama lagi pengen makan rica kan?" Sultan memang pandai sekali bersandiwara. Memang kapan Navya bilang ingin makan rica ayam?

Ia menggeram lagi.

Daripada Ia makin menggeram tak keruan, akhirnya Ia memutuskan untuk segera sarapan dan berangkat sekolah. Mengurusi Sultan tidak akan pernah ada habisnya.

**

Pagi ini, kelas sudah riuh dengan kesibukan mempersiapkan pre-test yang memang kebetulan di jam pertama. Beberapa siswa sibuk membuat contekan. Navya menggeleng melihat kelakuan teman-temannya yang menyesampingkan usaha dan justru mengedepankan kecurangan.

Stay WeirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang