Sudah cukup lama Ryan duduk termenung di sana sambil berfikir keras bagaimana ia menyelamatkan penerbangan ini tanpa harus memakan korban lebih banyak lagi. Sesekali ia masih menatap tubuh Sang Marshal yang dibiarkan tergeletak begitu saja di hadapannya. Namun, tiba-tiba pandangannya terpaku pada dua buah selongsong peluru yang berada di dekat jasad Sang Marshal. Benda itu sudah basah terkena darah yang menggenang. Ia pun segera mengambil dan menelitinya.
"Tidak salah lagi, ini adalah selongsong peluru dengan ukuran kaliber 10mm dari Pistol Glock 20. Tak kusangka, dia mempunyai salah satu pistol paling berbahaya di dunia. Itu artinya, penerbangan ini benar-benar dalam bahaya. Aku harus segera keluar dari sini," ungkapnya dengan sedikit kekhawatiran.
Kebetulan, di dalam ruangan sempit itu terdapat sebuah lemari kaca yang kosong. Dengan segera, Ryan langsung memukul kacanya hingga pecah berkeping-keping. Kemudian ia mengambil salah satu pecahan kaca yang seukuran dengan sebuah belati kecil. Ia mengikat ujung yang tumpul dengan sehelai kain yang ia robek dari pakaian Sang Marshal, sehingga bagian itu dapat digenggamnya dengan baik. Sedangkan ujung yang lancip rencananya akan ia gunakan untuk melawan para pembajak. Entah dari mana ia mendapat ide segila itu.
"Hei, kalian! Para penjahat b*****t! Kalian harus bertanggung jawab atas kematiannya! Dasar pembajak b******n!" Ryan berteiak dan mengumpat keras sambil mendobrak pintu. Sepertinya, ia sudah mulai geram dengan perbuatan mereka.
"Ayo, hadapi aku dengan jantan, dasar pengecut! Jangan hanya mengurungku di sini! Aku tidak takut pada orang-orang b******k seperti kalian!" lanjutnya.
Para penjaga sepertinya sudah mulai muak dengan semua perkataan Ryan. Mereka pun berniat untuk menghabisinya. Tapi, saat mereka akan masuk, Ryan sudah berhasil mendobrak pintu dan mulai melakukan perlawanan. Ia bertarung dengan gesit, sampai-sampai mereka tak sempat menarik pemicu (trigger) senjatanya. Ia juga dapat mengalahkan mereka semua dalam waktu yang cukup singkat,walau sempat mendapat beberapa kali pukulan di wajahnya hingga salah satu ujung bibir dan pelipisnya berdarah.
"Mohon perhatian, ini adalah Kapten Anda. Kami akan mengalihkan rute penerbangan dikarenakan cuaca buruk. Kami juga akan segera mendaratkan pesawat di bandara terdekat. Untuk itu, dimohon para penumpang untuk tetap berada di tempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman. Harap tetap tenang dan jangan panik. Terima kasih." Tiba-tiba, pengumuman itu terdengar dari ruang kemudi pesawat.
"Cuaca buruk? Ini pasti ulah para pembajak s****n itu," gumam Ryan. Ia langsung mengambil berapa senjata yang tergeletak dan segera menuju ruang kemudi.
Di kabin pesawat, ia bertemu dengan para penjaga. Baku hantam pun tak terhindarkan. Untuk mempersingkat waktu, terpaksa ia harus menembak para penjaga. Sontak, keributan itu membuat para penumpang semakin panik dan ketakutan. Seolah tak peduli dengan kondisi para penumpang, Ryan langsung meninggalkan kabin dan segera masuk ke ruang kemudi. Baru saja ia menginjakkan kakinya di sana, seorang pria sudah menyambutnya dengan todongan sebuah pistol di kepalanya.
"Jatuhkan semua senjatamu!" ucap pria itu yang ternyata adalah orang yang telah membunuh Sang Marshal. Ia membawa sebuah koper berwarna silver misterius, entah apa yang ada di dalamnya. Mau tak mau Ryan harus mematuhinya. Ia juga melihat ada dua orang yang masing-masing sedang menjaga pilot dan co-pilot dengan senjata yang siap ditembakkan kapanpun mereka mau.
"Berlututlah dan letakkan tanganmu di atas kepala!" ucap pria itu lagi.
Namun, sepertinya kali ini Ryan tidak mau menurut. Dengan cepat, ia langsung mengangkis tangan si pria, senjatanya pun terlempar. Lalu, Ryan mendorongnya ke dinding dan mencekiknya dengan cukup kuat.
"Siapa kalian sebenarnya, hah? JAWAB!" seru Ryan sambil sedikit mengangkat tubuh pria itu beberapa cm dari lantai.
"Bb...bunuh pilotnya!" suruh si pria kepada kedua anak buahnya. Dengan sigap, mereka pun menembak kepala sang pilot dan co-pilot dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pandangan Ryan pun sontak beralih menuju kursi kemudi. Kesempatan itu digunakan si pria misterius untuk memukul Ryan tepat di wajahnya dan menendangnya hingga tubuhnya jatuh terkapar di lantai.
"Bunuh dia juga!" perintah pria itu. Namun, sebelum anak buahnya mendatangi Ryan, ia langsung meraih sebuah pistol di sebelahnya dan menembak mati mereka bertiga.
Tak lama kemudian, pesawat itu mulai jatuh. Ryan pun berusaha meraih koper misterius tadi yang mulai terombang-ambing. Ia merasa isi dari koper itu merupakan sesuatu yang sangat penting, jadi dirinya tidak akan pernah melepaskannya. Kemudian, ia menyingkirkan tubuh sang pilot dan duduk di kursi kemudi serta memasang sabuk pengaman dengan kencang. Ia mulai berusaha mengendalikan pesawat yang sedang jatuh bebas itu. Usahanya ternyata hanya mampu sedikit mengangkat hidung pesawat karena badan pesawat sudah terlalu dekat dengan daratan.
"Ya Tuhan, apakah aku akan berakhir seperti ini?" Kalimat itulah yang terakhir terucap dari mulut Ryan sebelum pesawat naas itu benar-benar membentur tanah.
***
Hai semua... Makasih ya udah baca ceritaku. Gimana ceritanya? Udah dapet belom actionnya? Atau malah kebanyakan? Membingungkan gak sih ceritanya?
Pokoknya aku tunggu comment2nya. Jangan lupa, VOTE yang banyak ya...
See you in the next chapter...
KAMU SEDANG MEMBACA
A Few Days To Survive (End) (Sudah Terbit)
Aksiyon#1 - Aksi (24-04 Juni 2019) #1 - Agen (15-26 Juli 2019) Rahasia, kelam, kejam, no mercy. Mungkin itulah beberapa kata yang tepat untuk menggambarkan betapa kerasnya dunia per-intelijen-an. Ryan Alexander Cade, atau biasa disapa Agen Cade, hanyalah s...