4. Hidup itu, Sederhana?

11.8K 1.1K 57
                                    

"Nah, kalo udah tahu yang ditanya apa, lo tinggal masukin ke dalam rumus." Irene mengangguk mendengar penjelasan itu. Gadis itu memang  kesulitan dalam mengejar mata pelajaran di kelas. Mengingat di kelas sebelas tahun lalu, ia terlalu aktif dalam kegiatan nonakademik.

"Lan, ada adek kelas yang nyari lo, tuh!" Angga menggunakan dagu menununjuk arah pintu.

"Siapa?" Alan beranjak.

Angga mengangkat bahunya. Mengambil alih tempat duduk Alan. "Serius amat, Neng?"

"Banyak bacot lo!" Pandangan Irene menikam sepasang mata lelaki itu.

"Makanya, jangan suka bolos pelajaran." Angga tersenyum meremehkan.

"Diem nggak lo! Eh, Alan mana?" Irene terkejut saat mendapati lelaki itu tak lagi di sampingnya.

"Tuh, lagi apel sama adek kelas." Angga menunjuk dengan dagunya. Irene beralih pandang ke arah pintu. Keningnya berkerut dalam saat mengetahui siapa lawan bicara Alan.

"Rain ngapain di sini? Cari Kakak?" tanya Irene seraya mendekat.

"Bukan. Rain cari Kak Alan. Yuk Kak!" Rain menggandeng tangan Alan. Lelaki itu menurut. Bahkan, mencoba mengambil langkah lebih cepat dari Rain.

"Kenapa buru-buru?" tanpa sadar Irene mengekor mereka.

"Alka pingsan," jawab Rain.

"Tuh anak bisa sakit juga, ya?" gurau Irene. Namun, keduanya--Rain dan Alan-- tetap menampilkan wajah serius. Bibir Irene terkatup selagi langkahnya menuntun tubuh menuju UKS.

"Dari sekitar jam setengah delapan, tapi belum sadar juga." Rain berujar saat mereka sampai di UKS. Ketiganya memandang Alka yang masih bergeming di atas brankar UKS.

"Udah empat jam dong? Mati kali dianya," Farkhan, teman dekat Alka berpendapat. Alan melempar pandangan tajam ke arah Farkhan. Membuat nyali lelaki jangkung itu menciut.

"Al?" Alan menggoyangkan tubuh sang adik. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Mengingat bahwa adiknya jarang terjatuh sakit, apalagi sampai tak sadarkan diri.

"Tadi guru yang jaga UKS nyaranin dibawa ke rumah sakit." Suara laki-laki lain membuat Alan menoleh. Sepasang matanya memandang Irfan sekilas, sebelum kembali memandang wajah pucat Alka.

"Lan...," Irene menepuk bahu Alan. Mencoba menenangkan lelaki itu, "tunggu sebentar lagi. Paling juga dia bangun."

Alan mengembuskan napas kasar. Ia duduk di samping Alka. Menaksir suhu tubuh sang adik dengan menempelkan punggung tangannya di kening Alka. Keningnya berkerut dalam saat panas menjalar ke punggung tangannya. Matanya beralih mengamati dada Alka. Memastikan bahwa napas sang adik teratur.

"Tidur sekalian kali." Rafa yang sedari tadi diam, turut bersuara. Ia melangkah mendekati Alka dan tanpa pikir panjang menutup hidung Alka.

Alka bergeming. Membuat Rafa sedikit khawatir. Dengan ragu, ia menekan hidung Alka lebih kuat, membuat lelaki sulit mengambil napas.

Ukhuk!

Alka membuka matanya. Terbatuk. Berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menepuk dadanya yang terasa sesak. "Lo mau bunuh gue?" Suara serak Alka terdengar.

"Bangun juga lo, gue kira udah R.I.P." Rafa terkekeh. Senang sebab idenya berhasil membangunkan Alka. Alka yang masih terbatuk mencoba membangunkan dirinya. Mengambil posisi duduk bersandar sembari memijat pelipisnya.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Alan khawatir.

"Masih pusing," jawab Alka. Ia tersenyum jahil mendapati wajah sang kakak.

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang