Alka melempar tubuhnya di atas ranjang king size itu. Menimbulkan getaran yang sontak membuat si pemilik ranjang menoleh. Menatap tajam ke arah Alka yang sudah dalam posisi tengkurap. Dengan mata yang mencoba terpejam.
"Ganggu aja sih lo," Rafa, pemilik ranjang king size itu berujar kesal. Alka tak menjawab. Hanya terdengar helaan napas kasar dari lelaki itu.
"Ada masalah ama nyokap?" Rafa bertanya dengan pandangan kembali menatap layar ponselnya.
Lagi. Helaan napas dari lelaki manis itu terdengar. Alka memang menutup matanya. Namun, pikirnya masih mengelana pada percakapan beberapa saat yang lalu.
Setelah lelaki itu berhasil menenangkan dirinya di jembatan, ia langsung pergi ke rumah Rafa. Tempat paling nyaman menurutnya. Di rumah mewah ini, ia dapat bertemu dengan sosok ibu yang sesungguhnya. Wanita paruh baya berhati bidadari.
Fara, nama wanita itu. Ibu dengan satu anak yang ia beri nama Rafa itu adalah sosok malaikat tanpa sayap bagi Alka. Wanita yang selalu menjaga Alka dan kakaknya saat mereka masih kecil. Saat Nina bertarung dengan banyaknya pekerjaan kantor.Tak heran jika hubungan antara ketiganya--Alka, Alan, dan Rafa terbilang begitu dekat karena ketiganya tumbuh dalam didikan orang yang sama.
Sarah. Nama itu masih berputar dalam benak cowok manis itu. Menurut cerita yang baru saja ia dengar dari Fara, Sarah adalah nama dari seorang yang telah melahirkannya. Seorang wanita yang telah menghancurkan keluarga kakak satu-satunya? Entahlah. Alka masih ragu akan hal itu.
"Raf, lo pernah nangis?" tanya Alka tiba-tiba.
"Ya kali gue belum pernah nangis," jawab lelaki dengan rambut kemerahan itu tanpa mengalihkan pandangan dari game di ponselnya.
Alka mendesah. Ia masih ingin menangis. Mengeluarkan sesak yang belum sepenuhnya mengudara meski ia telah berteriak tadi. Namun sialnya, air matanya begitu sulit untuk menetes.
"Kapan terakhir kali lo nangis?" tanya Alka, lagi.
"Pas mantan nikah."
"Si Erin kapan nikah?" Alka sedikit terkejut dengan jawaban itu. Pasalnya, ia hanya mengenal satu mantan Rafa, yaitu Erin.
"Ck, bukan Erin ogeb. Teh Raisa," jawab Rafa dengan terkekeh pelan.
"Sebelum itu?"
Rafa menghentikan gerakannya. Ia termenung. Sedikit berpikir keras mengingat kapan terakhir kali ia menjatuhkan tetes air matanya.
"Pas kelas dua SMP. Pas lo sama gue berantem, tapi Mami malah belain lo," jawab Rafa setelah berpikir cukup lama.
"Mami Fara emang orang terbaik," gumam Alka. Senyuman tipis tercetak di wajahnya. Mengingat bagaimana kedekatan mereka hingga cowok itu pun turut memanggilnya Mami.
"Lo berantem sama Tante Nina?" selidik Rafa.
"Nggak," dustanya. Namun, Rafa tahu dengan benar apa yang disembunyikan oleh sahabatnya itu. Hanya saja, ia tak menyanggah. Mungkin Alka belum siap membagi kepedihan hatinya pada dirinya.
"Terus ngapain lo tidur di kamar gue?" tanya Rafa menginterogasi.
"Di luar hujan. Lo ngusir gue?" tanya balik Alka.
"Lo datang emang udah hujan kali. Terus ngapain hujan-hujan ke rumah gue?"
"Tadi siang juga hujan, 'kan?"
Rafa mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Alka memang punya cara aneh untuk mengalihkan pembicaraan.
"Emang napa?" sahut Rafa.
"Mbok Ijah nyuci selimut gue. Karna hujan, jadi selimut gue nggak kering," jawab Alka asal.
Rafa menyengir. Jujur, ia sedikit terenyuh dengan keadaan sahabatnya ini. Selalu berhasil menyembunyikan lukanya di balik senyuman dan candaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Younger Brother
Novela JuvenilCover by @byarfh_ "Gue pengen pinter kayak lo, Kak, walau cuma sebentar. Gue pengen jadi orang yang berguna, walau cuma sekali. Gue pengen dikenang banyak orang, walau akhirnya gue bakalan lupa segalanya. Gue egois, 'kan?" Alka Cahya Hermawan. Lelak...