Alka meringis saat Alan membersihkan lukanya. "Bisa pelan dikit nggak, sih?" protesnya.
Alan kembali berdecak, entah untuk yang keberapa kali. "Makanya jangan sok jagoan, sok-sok berantem segala? Lo pikir gue bakalan bangga kalo lo berhasil bunuh dia?"
Alka membisu. Sejenak, senyuman miring tercetak di wajahnya. "Gue nggak nyangka bakalan senekat itu." Ia bergumam. Pikirnya menerawang akan kejadian yang baru saja terjadi.
"Beruntung cuma ada Erick di sana. Coba aja kalo ada temen-temen bangsatnya, keluar dari sekolah duluan lo. Dengan menyandang gelar almarhum." Farkhan memberikan penekanan pada kata terakhir.
"Bukan. Yang ada kantin jadi rame karena ada menu baru, begedel Alka," ralat Rafa. Sontak membuat ketiga sahabat Alka itu tertawa terbahak-bahak.
"Banyak bacot lo!" sentak Alan. Tawa ria itu berhenti. Alka kembali tersenyum mendengar pembelaan kakaknya.
"Lo juga! Jangan cengengas-cengenges! Bibir lo tuh, sobek parah!"
Senyum Alka lenyap. Alan memang selalu berlebihan saat sedang khawatir.
"Gue nggak balik ke kelas. Pusing banget nih kepala." Alka memejamkan matanya saat Alan selesai mengobati lukanya. Mencoba meredam denyutan di kepalanya yang tak kunjung hilang.
"Al," panggil Alan, tetapi cowok itu tak menyahut. Masih memejamkan mata dengan posisi duduk di atas ranjang UKS.
"Al, lo mimisan." Alka membuka matanya. Mendapati darah segar telah mengalir dari hidungnya. Segera, ia menengadah.
"Nunduk goblok!" Irfan dengan kasar menundukkan kepala Alka.
Alan tampak khawatir. Ia belum pernah melihat adiknya mimisan sebelumnya, bahkan saat ia demam. Mungkin itu karena pukulan Erick yang sempat mendarat di hidungnya.
"Bersihin di toilet." Alka mengangguk sembari menutup hidungnya. Dengan masih terhuyung, ia berjalan menuju toilet yang tak jauh dari UKS.
Cukup lama lelaki itu berdiri di depan wastafel. Menunggu hingga darahnya berhenti keluar. Ia membasuh wajahnya. Menatap bayangan wajah pucatnya di cermin depan wastafel. Helaan napas terdengar darinya. Denyutan di kepalanya kian menjadi-jadi, ditambah dengan mimisan, dan sialnya perutnya terasa diaduk-aduk. Mual.
Alka membasuh wajahnya sekali lagi sebelum keluar dari toilet. Ia berniat kembali ke UKS dan beristirahat di sana. Badannya benar-benar terasa remuk saat sebuah benda tumpul seakan memukul punggungnya.
"Jangan berantem lagi." Kalimat dari sang kakak itulah yang menjadi sambutan. Sedangkan tiga sahabatnya tak lagi ada di sana. Alka tak menjawab. Langsung merebahkan dirinya di kasur berseprai putih itu. Tangannya tergerak memjita pelipis.
"Lo denger?"
"Iya. Gue nggak budek."
"Apapun alasannya, jangan berantem," imbuh Alan.
"Iya, iya.Gue capek. Pengen istirahat. Bisa tinggalin gue sendiri?" Alka memejamkan matanya. Mengerutkan kening saat mencoba meredam semua rasa sakit itu.
Alan menarik selimut hingga sebatas dada adiknya. Setidaknya, ia dapat merasa tenang karena Erick sudah dibawa pulang beberapa saat yang lalu. Jadi, Alka tak mungkin kembali menyerang jika adiknya itu masih menyimpan dendam.nAlan menatap nanar tubuh sang adik sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
***
Alka berjalan gontai memasuki rumahnya sore itu. Badannya terasa remuk. Kaki-kakinya terasa begitu lemas untuk dipaksanya berjalan. Pandangannya kosong. Juga rasa nyeri yang masih mengoyak batin.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Younger Brother
Teen FictionCover by @byarfh_ "Gue pengen pinter kayak lo, Kak, walau cuma sebentar. Gue pengen jadi orang yang berguna, walau cuma sekali. Gue pengen dikenang banyak orang, walau akhirnya gue bakalan lupa segalanya. Gue egois, 'kan?" Alka Cahya Hermawan. Lelak...