6. Puisi

10.1K 972 51
                                    

Suasana kelas X IPA-4 pagi itu tampak tak setenang siang kemarin. Terdengar desahan dan beberapa umpatan di setiap sisi kelas seiring para siswa yang mulai frustasi. Baru kemarin penghuni kelas itu merasa sedikit lega dengan materi bahasa Indonesia yang telah selesai. Namun pagi ini, pada awal bab, kepala mereka sudah dipusingkan oleh tugas baru: membuat puisi dengan tema ibu, pula. "Memangnya sekarang hari ibu?" Beberapa sisiwa berpikir demikian.

Berbeda dengan siswa lain yang tengah sibuk merangkai kata, Alka justru menyembunyikan wajahnya di balik lipatan tangannya. Ia terpejam. Namun tak juga kunjung terlelap.

Lagi. Entah untuk yang keberapa kali, ia merasakan pening di kepalanya. Mungkin karena efek kurang tidur semalam. Semalam, setelah merasa puas tertidur dengan baju seragam yang masih melekat di tubuhnya, Alka terbangun sekitar jam sepuluh malam untuk membersihkan dirinya. Namun setelah itu, ia tak lagi dapat tidur.

"Al, bantuin gue dong?" Terdengar suara memohon dari Rafa, teman sebangkunya. Alka tak acuh. Masih bergeming walau ia dapat mendengarnya.

Rafa mendesah. Sedikit kesal oleh kelakuan sahabatnya itu yang tak acuh. Lelaki dengan rambut kemerahan itu memandang ke depan. Tepat di depannya Irfan yang telah selesai membuat karya sastranya.

"Sssttt.... Fan, oey, bantuin gue dong." Rafa menarik kerah baju Irfan dari belakang. Membuat si empunya baju menoleh sebal.

"Ck, otak dipake dikit ngapa, sih?"

Rafa mengerucutkan bibirnya. Beruntung yang berkata demikian itu sahabatnya. Orang yang telah ia kenal dengan baik selama tiga tahun lebih, jika tidak, mungkin ia telah menyumpal mulut pedas Irfan dengan kertas corat-coretnya.

Cowok itu kembali menoleh ke arah Alka yang masih bertahan dalam posisinya. "Dasar kebo!" desisnya. Tak ada pilihan lain sekarang. Ia hanya bisa meminta bantuan Farkhan. Lelaki yang masih sibuk menyalin puisi dari smart phone ke buku tugas.

"Eoy, Han," panggilnya.

"Hm?" Cowok jangkung itu menoleh ke belakang.

"Cariin puisi juga buat gue dong," pinta Rafa dengan memelas.

"Oke. Bentar, gue nyalin punya gue dulu," respon Farkhan dengan senang.

Rafa mengembuskan napasnya lega. Setidaknya masih ada Farkhan dan senjata andalannya, si smart phone yang masih mau membantunya.

"Itu yang di belakang dekat tembok!" Terdengar gertakan keras dari sang guru. Sontak Farkhan menyembunyikan smart phone-nya karena dalam peraturan sekolah, siswa boleh membawa ponsel asalkan di-non aktifkan selama jam pelajaran berlangsung.

"Mampus!" Farkhan merutuki dirinya yang kurang berhati-hati. "Saya Bu?" Farkhan memastikan dengan cemas.

"Bukan. Belakangnya." Farkhan menarik napas lega. Ia menoleh ke belakang. Mendapati Alka yang tampak tertidur lelap.

"Al, Bu Sekar manggil lo." Rafa menyenggol lengan lelaki manis itu. Dengan lemas, Alka menangkat kepalanya yang terasa berat.

"Enak banget pagi-pagi sudah tidur. Sudah selesai tugasnya?" tanya Bu Sekar tajam.

Alka mengusap tengkuknya yang terasa kaku. Mungkin karena terlalu lama tertidur dengan posisi yang tidak benar.

"Udah Bu," jawabnya serak.

"Ya udah. Maju ke depan dan bacakan puisi kamu!" perintah Bu Sekar, tegas.

Alka bangkit. Sedikit terhuyung saat berdiri. Lelaki itu mengambil buka tugas milik Rafa. "Gue pinjem," ucapnya seraya menarik senyum tipis.. Rafa hendak merebut kembali, tapi Alka sudah berlalu dengan membawa hasil karyanya.

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang