Part 18

10.5K 635 50
                                    

Ken memimpikan ibunya. Bukan jenis mimpi yang indah. Mimpi itu lebih tepatnya bayangan masa lalu.

Di tengah mimpinya Ken meraung dan menggumam tidak sadar. Dilihat ibunya yang hadir dengan penampakan yang miris, tak berdaya. Memanggil-manggil namanya. Tubuhnya kisut digerogoti penyakit. Tungkai kakinya yang tinggal tulang dan kulit itu tak lagi mampu menopang tubuhnya berdiri.

Ketika penyakit menyerang, hampir seluruh waktunya habis di atas tempat tidur. Sementara bibirnya masih bisa bekerja, mendongeng pun menjadi kebiasaan Beth. Mantan nyonya Emmert itu tak pernah ketinggalan meluapkan frustasi kepada Ken yang usianya masih terlalu belia untuk mendengar cerita-cerita suram.

Berbagi tangisan menjadi ritual mereka setiap hari. Meski lain yang ditangisi. Sang ibu menangisi keadaannya, perceraiannya. Sementara Ken kecil menangis untuk tangisan ibunya.

Ketika ajal menjemput, ayahnya bahkan tidak hadir di pemakaman. Ken melanjutkan hidup dengan para pelayan. Ed memang tidak lepas dari tanggung jawab menghidupi Ken. Hidup Ken bergelimang kemewahan. Setiap minggu Ed mengutus orang kepercayaan, menjadi penghubung baginya dan Ken. Memenuhi bukan hanya kebutuhan tetapi setiap keinginan Ken.

Berhari-hari kesedihan itu menguar pekat. Ken melalui masa-masa sulit itu sendiri. Hari demi hari hatinya kian dipekati dendam. Ia menolak ketika ayahnya memanggil, meminta kembali ke rumah. Tapi rumah yang mana. Untuk Ken tidak lagi ada tempat yang layak disebut rumah.

Sebelum berhasil membalaskan luka ibunya, Ken tidak akan pernah merasa tenang. Belakangan ia lupa tujuan utamanya kembali kepada Ed. Lupa tujuannya sampai bisa menikahi Naya. Tapi ibu yang datang dimimpi seolah mengingatkan ambisinya yang mulai terlupakan.

Tak sengaja Naya mendengar suara raungan ketika lewat didepan kamar tidur Ken. Tidak berfikir dua kali ia langsung menarik sebuah stik yang mencuat dari sebuah trolly bag golf di sudut ruangan. Tetapi tidak seperti dugaan Naya. Tidak ada penyerangan apapun disana. Hanya Ken seorang diri.

Masih dengan gumaman simpang siur, siluet tubuh Ken tampak bergerak gelisah diatas ranjang tidurnya.

"bangunlah, Ken." Naya mengguncang bahu laki-laki itu. Perlu beberapa detik hingga mata sembabnya terbuka.

Kesadaran tidak serta merta merasuki Ken. Ia masih sempat menatap Naya dengan pandangan kosong sebelum sorotan mata itu berubah tajam. Dari keadaan remang-remang lampu tidur, Naya bisa melihat air muka Ken. Ia yang seketika mengendus sinyal-sinyal berbahaya dalam manik mata itu pun mundur teratur. Tak disangka gerakan kecil tersebut dibalas reaksi yang mengejutkan.

Ken menarik Naya hingga rebah di kasur. Memutar tubuh hingga posisi tubuh Naya ada diantara kakinya. Ia setengah menduduki perut Naya dengan bertumpu pada kedua kaki.

"Untuk apa kau ada disini?"

"K..kudengar kau meraung." Jawab Naya parau dibawah cengkramannya. Perempuan itu bahkan tidak menangkap maksud sebenarnya dari pertanyaan Ken.

Intensitas remasan dileher Naya bertambah. Kaki perempuan itu menendang-nendang udara dalam upaya membelot. Meski pada akhirnya ia berhenti. Bukan karena pasrah terhadap ajalnya di tangan Ken, melainkan oksigen sebagai bahan bakar energinya sudah menipis. Warna wajah Naya berubah. Dari pucat menjadi kemerahan.

Ketika merasa kematian sudah sangat dekat, bayangan wajah-wajah orang terkasih melintas dalam benak Naya. Ayahnya, para pekerja di rumah hingga sosok Alfa. Setitik air mata pun meluncur turun.

Bila saja Ken terlambat membebaskan Naya barang sedetik saja, nyawa perempuan itu mungkin sudah tak tertolong.

Sambil terbatuk dan menghirup dalam-dalam udara, Naya berlari menuju kamar tidurnya. Tak lupa memastikan pintu kamarnya terkunci—Khawatir iblis yang menjelma menjadi suaminya itu menyusul.

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang