4. Dia lagi

56 7 0
                                    

Kania menyandarkan tubuhnya di batang pohon jengkol yang kokoh seperti biasanya. Kali ini tidak sambil membaca novel, melainkan menatap langit senja berhiaskan burung-burung dan capung yang kembali ke asalnya.

"Gak bagus loh cewek duduk sendirian pas mau maghrib gini. Nanti di culik kalong wewe" ujar seorang cowok yang duduk di samping Kania.

"Pantesan aja orang pada takut kesini"

"Maksudnya?"

"Penunggu pohon ini selalu muncul tiba-tiba kayak gini" datar Kania.

"Lo ngomong sama gue? Apa sama penunggu ni pohon jengkol? Kok liatnya ke langit"

"Sama siapa aja yang denger"

"Gue dong. Lo nyamain gue sama kalong wewe?"

"Kalo lo ngerasa ya berarti lo sadar diri"

"Jangan jutek-jutek kalo jadi cewek"

"Kenapa? Nanti ga ada yang suka? Basi" Kesal Kania.

"Bukan. Tapi cewek jutek itu selalu bikin gue penasaran"

"Awas aja kalo lo berani macem-macem sama gue" datar Kania.

"Awannya indah ya"

"Mata lo katarak apa rabun ayam? Gelap gini mana keliatan awannya"

"Coba lo perhatiin baik-baik. Bukannya gak keliatan tapi kurang jelas aja. Awan-awan itu bagaikan para broken home"

"Maksudnya?"

"Mereka akan terlihat indah di siang hari dan tidak akan terlihat di malam hari"

"Maksudnya?"

"Mereka berusaha membuat orang lain melihat keceriannya. Tapi saat malam tiba dia akan berubah menjadi dirinya yang gelap dan berusaha keluar dari lamanya malam"

"Kok gue gak ngerti ya?"

"Serinci apapun gue ngejelasin, lo gak bakalan ngerti karna lo itu lola alias loading lama"

"Kok lo malah ngata-ngatain gue sih? Lo nya aja yang berbelit-belit kalo ngomong"

"Itu hak gue"

"Rese lu"  Kania bangkit dari duduknya.

"Mau kemana?"

"Cabut"

"Jangan, sebentar lagi hujan turun"

"Peramal cuaca yang amatir" datar Kania.

"Ya udah kalo gak percaya" cowok itu melepaskan genggamannya dan membiarkan Kania pergi.

Baru saja beberapa langkah gerimis mulai turun. Kania menghembuskan nafasnya kesal. Cowok itu tersenyum penuh kemenangan.

"Gue bilang juga apa"

"Hanya sebuah kebetulan"

"Rencana tuhan itu gak ada yang kebetulan"

Kania menghela nafas berat lalu berjalan menuju sebuah gazebo. Cowok itu ikut duduk di hadapannya. Kania memalingkan wajahnya menghindari kontak mata dengan cowok aneh itu.

Sudah 2 jam Kania menunggu namun hujan tak kunjung reda, malah semakin deras.

"Udah mau isya lo gak pulang?"

"Hujannya belum reda dan gue mau nunggu sampe bener-bener reda" datar Kania.

"Kalo hujannya gak reda juga gimana?"

"Gue bakal tunggu"

"Segitunya?"

"Hm"

"Lo jomblo ya?"

"Bukan urusan lo"

"Jomblo bilang hujan itu dingin dan sepi. Jomblo juga bilang kalo kemarau itu gerah dan panas kayak hati. Dan Vanpedia mengungkapkan bahwa jomblo mengalami keluhan dalam keduanya" ujar Cowok itu panjang lebar.

"Lo ngungkapin yang lo rasain" Kania tersenyum miring.

"Maybe" datar cowok itu.

Kania mengeluarkan handphone dari dalam tas. Berniat memesan taksi online. Kania memutar bola matanya ketika mendapati handphone nya yang mati. Dirinya lupa ngecharge.

                            ***

Divo terus bulak balik mengecek rumah Kania. Mencari sang pemilik yang sedari tadi belum pulang juga. Bilangnya mau mampir sebentar ke toko buku tapi sampai jam segini belum pulang. Beberapa kali di hubungi yang menjawab tetap sama. Sang operator yang memberitahukan handphone Kania yang sedang tidak aktif. Divo mencemaskan keadaan Kania. Di tambah hujan yang tak kunjung reda. Yang Divo tahu Kania benci hujan dan akan menunggu hujan benar-benar reda. Divo takut Kania menunggu di tempat yang sepi sendirian. Takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Walaupun hati kecil Divo yakin, Kania bisa jaga diri dengan baik.

Divo melajukan mobilnya mencari Kania di sepanjang jalan perumahan dan taman. Yang Divo tahu Kania sangat menyukai taman. Nihil, Kania tidak ada.

"O iya masih ada satu taman lagi" Divo tersenyum senang ketika mengingat ada sebuah taman yang katanya angker. Walaupun ragu, Divo tetap pergi menuju taman yang katanya angker itu.

Divo menyusuri jalanan di taman yang katanya angker. Divo tersenyum lega ketika mendapati Kania yang sedang duduk di sebuah gazebo. Namun senyumannya menghilang ketika melihat punggung seorang cowok. Dan tak lama kemudian cowok itu pergi meninggalkan Kania sendiri. Divo keluar dari mobil menghampiri Kania dengan membawa payung.

"Ngapain lo disini?" Heran Kania.

"Nyusulin lo lah" kesal Divo.

"Oh"

"Ya udah ayo pulang"

Kania menuruti perkataan Divo. Kini Kania sudah duduk manis di kursi depan di samping Divo. Divo melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil sesekali melirik wajah Kania.

"Lo kenapa?" Heran Divo.

"Gak papa"

"Yakin?"

"Iya"

"Cowok tadi pacar lo?"

"Bukan"

"Gebetan lo?"

"Kepo lu"

"Atau depkolektor?" Canda Divo.

"Sialan lo. Eh, muka lo kenapa?" Kania mengurungkan niatnya untuk menjitak kepala Divo setelah melihat pelipis dan bibir Divo yang memar.

"Ganteng?"

"Dikit. Tapi bukan itu yang gue maksud. Kenapa? Lo abis kepentok meja?"

"Biasalah, gue kan cowok"

"Maksudnya?"

"Eh, eng enggak kok. Gue gapapa"

Kania merasa ada yang disembunyikan Divo dari dirinya. Baru kali ini Kania melihat wajah Divo memar seperti orang yang sudah berkelahi. Setahu Kania Divo gak pernah berantem separah ini. Lagian Divo juga gak punya musuh. Tapi kenapa bisa?.

                           ***

Kania membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit. Terngiang pada kejanggalan hari ini. Cowok aneh yang rese tapi kenapa Kania merasa nyaman. Divo yang mendadak babak belur padahal tak punya musuh. Apa Divo berantem sama Alvin? Masa sih, Alvin memang orangnya jahil dan Divo memakluminya. Bahkan Divo dan Alvin jadi akrab. Masa iya Divo berantem karna masalah kecil. Divo orangnya emang rese tapi pemikirannya lumayan dewasa dalam menyikapi orang lain. Ini pasti masalah yang cukup serius. Ah, sudahlah ini privasi Divo. Kania tidak berhak ikut campur selain Divo yang mau bercerita dengannya. Lagian Divo mempunyai orangtua yang amat mengerti dirinya.

"Arghhh! Kenapa gue jadi inget itu lagi. Sialan!" Kania melempar bantal ke arah pintu dengan keras.

Kania menutup matanya dengan bantal. Berusaha melupakan bayangan kelam yang terlintas di benaknya. Membayangkan masa kecilnya yang indah. Dan saat ini hanya ada satu harapan mustahil yang ada di lubuk hatinya yang dalam. Masa kecil yang terulang.



I'm Not Fine, But It's OkayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang