Diskusi kelas berakhir dengan sangat tragis untuk hari ini. Kenapa dikatakan demikian? Karena tiga orang laki-laki di sana berdiri menghadap pria di hadapan mereka dengan kepala tertunduk. Tiga makalah yang ada di tangan sang dosen juga tiba-tiba dilemparkan ke tong sampah.
Tidak hanya sampai di sana, kata manis berupa, "Tugas kalian semua SAMPAH!" Juga keluar dari pria berkepala plontos dengan kumis tebal yang biasa mereka sebut sebagai 'Dosen Killer'.
Dua puluh menit yang lalu ruangan ini masih damai. Diskusi berjalan lancar tanpa hambatan dan pemateri pun menyampaikan bahan materinya dengan lancar--lancar dalam membaca makalah saja, bukan menyampaikan--hingga suasana berubah ketika sebuah gebrakan pada meja kayu bergema keras.
Gadis yang awalnya membuka mulut akan menyanggah pernyataan dari salah satu pemateri sontak menutup mulut karena merasa terkejut.
Sekarang, ketiganya hanya mampu manatap lantai. Entah merasa bersalah, takut, atau sedang merapal mantra untuk Mr. Wahab agar jin jahat yang ada di kepala dosen mereka cepat pergi.
Kedua tangan beliau diletakkan di atas meja, matanya menatap intens tiga mahasiswa yang mencoba berbuat ulah di kelasnya hari ini. "Kalian pikir kuliah hanya main-main?" Suaranya kembali ditinggikan.
"Copy paste semua materi dari internet? Anak SD juga bisa membuat makalah sampah seperti itu!" Tunjuk beliau pada tong sampah di sampingnya. "Kalau tidak niat berkuliah lebih baik kalian berhenti saja dari universitas ini!"
Beberapa kertas yang ada di atas meja Mr. Wahab dimasukkan ke dalam tas hitam jinjing yang biasa dibawa. "Kalian bertiga ke ruangan saya!" perintahnya. "Kuliah saya untuk hari ini kita akhiri. Assalamu'alaikum," ucap beliau sambil berjalan cepat keluar dari kelas.
Tidak ada penyimpulan materi untuk hari ini. Pikir gadis berkerudung lebar di deretan kursi paling pojok. Rasanya sia-sia masuk. Walaupun, setidaknya ada satu dua materi yang dia pahami sebelum gebrakan tadi terjadi.
Semua keluar dari ruangan kecuali orang-orang yang betah di kelas saat jam kosong . Herann deh, mereka ini gatel banget, pengen keluar di saat jam matakuliah sedang berlangsung. Tapi di saat jam kosong seperti ini malah betah dan gak mau keluar dari kelas. Gak mahasiswa, gak siswa sekolahan, kebiasaannya tetap sama saja.
"Dib, pulang yuk!" Seperti hantu yang datang tak diundang pulang tak diantar, seorang perempuan menghampiri Adiba di pojokan--yang juga sudah hampir mirip seperti hantu sukanya di pojokan--dengan wajah ceria karena pulang lebih celat dari biasanya. Orang yang lengannya ditarik berdiri dan menyampirkan tasnya di punggung.
"Abi lo di rumah gak? Kalau enggak gue ke rumah lo dong! Mau ngerjain tugas. Gak pengen macem tiga orang barusan. Serem banget liatin Mr. Wahab ngamuk. Kek kebo yang gak dikasi makan," cerocosnya tanpa memerdulikan sekitar.
Akhwat di sampingnya menyentil sedikit ujung hidung temannya itu. "Hus, Nisa kebiasaan banget! Jangan bicara gitu! Mr. Wahab dosen kita, lho. Kali aja ada maksud dari sikap beliau."
"Dih, lo mah." Gadis berhidung pas-pasan itu mengelus-elus bagian yang disentil. "Padahal aslinya juga males kan?"
Mata coklat Adiba yang terhalang mika berputar ke arah lain. "D-dikit sih."
"Nah kan! Dasar Adiba tukang ngeles!"
"Apaan, ish! Dah katanya mau ke rumah. Abi belum pulang kalau jam sekarang. Cepetan, ayok!"
"Eh serius?"
"Iyaaa," jawab Adiba.
Annisa berjingkrak-jingkrak kegirangan kemudian memeluk Adiba erat. Mereka berdua berjalan menuju pintu koridor utama. Akan tetapi langkah gadis berkerudung coklat lebar itu terhenti. Tatapannya mengarah pada sosok yang sedang asik tertawa bersama teman-temannya di ujung koridor sana.
Astagfirullah, dia lagi. Kenapa terus-terusan bertemu dengan laki-laki itu lagi sih?
Badannya berbalik ke arah lain. Berusaha menghindar agar tidak perlu berurusan dengan orang itu hari ini. Dia membiarkan sahabatnya berjalam lurus, mengoceh sendiri tanpa ada yang mendengarkan.
"Haha, lucu banget gitu, Dib. Lo tau kan ...." Kalimat Nisa--panggilan akrabnya--tergantung ketika menoleh ke sebelah di mana Diba masih berjalan beriringan dengannya tadi. "Dib? Diba!"
Sayangnya mau dipanggil sekalipun orang yang perempuan itu panggil sudah pergi jauh, menghilang entah ke mana.
Kaki mungilnya terus berjalan secepat mungkin menuju pintu keluar lain yang jaraknya lebih jauh dari pintu keluar koridor utama. Terserah, dia tidak peduli akan lelah asalkan tidak bertemu dengan ikhwan yang satu itu.
Pikirannya melayang pada bagaimana Nisa akan bereaksi karena ditinggalkan oleh dirinya. Ditinggal sendirian tanpa ada pemberitahuan itu sakit. Cukup Adiba yang ninggalin Nisa tanpa pemberitahuan. Jodoh kamu jangan.
Kirim sms buat Nisa gak ya ... Tapi pulsa dikit, gimana dong? Duh, jadi bingung.
Sementara gadis mungil itu terus memandangi ponsel jadulnya. Seorang laki-laki berdiri di hadapannya dengan tawa licik. Tangan yang dilipat di depan dada seolah berkata, "Iya terus aja dateng ke arah gue seperti itu, Diba."
Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan bertubrukan. Fairuz merentangkan kedua tangannya, matamya ditutup, dan kepalanya sedikit mendongak ke atas.
"Dibaaa ... datanglah ke pelukan gue," gumamnya.
Tiga langkah, dua langkah, satu satu langkah. Yak!
Gadis mungil itu menunduk melewati bagian kiri tangan Fairuz yang terentang. Dikit bau sepet, sih. Tapi Adiba tidak punya pilihan lain. Orang ini menghalangi jalan sempit yang hanya berkapasitas dua orang saja.
Lolos! Mungkin karena terbuai imajinasi dalam pikirannya, ikhwan yang memejamkan mata sedari tadi tidak menyadari jika perempuan yang dituggunya masuk dalam pelukan sudah pergi menjauh. Sekarang ini akan menaiki angkot untuk pulang.
Hidung Fairuz mengembang dan mengempis beraturan, sambil menikmati gambaran-gambaran di dunianya dia terus menggumamkan. "Adiba ... Adiba ... datang pada gue."
Sadar mas, Mbak Adibanya dah pergi jauh, noh.
Hap! Dia menangkap tubuh seseorang. Mengelus-elus bagian punggung orang yang ditangkapnya dengan seringai aneh. "Akhirnya lo jadi milik gue, Dib," tuturnya masih dengan mata tertutup.
Tidak lama, hidungnya mencium sesuatu yang berbau khas. Seperti ... "Diba abis makan jengkol ya? Gak nyangka cantik-cantik suka jengkol juga."
"Iya, Mas. Kan situ tadi yang ngajakin makan jengkol di kantin."
Bukan suara lembut milik perempuan itu yang dia dengar saat ini. Melainkan, suara berat yang sedikit mendayu dibuat-buat mengacaukan alam pikiran Fairuz. Kelopak matanya dibuka perlahan. Dan betapa kagetnya dia ketika menemukan Iqbal berada di pelukannya. Bukan Adiba!
"Hih!" Wajah Fairuz berubah menjadi jijik. Tangannya mendorong Iqbal menjauh, geli. Bukannya bidadari yang didapat malah bidadarong.
Sementara Fairuz membersihkan bajunya, Iqbal melihat datar pada temannya yang satu ini. Disuruh nunggu di koridor utama malah main di taman belakang kampus, sambil merem senyum-senyum gak jelas lagi.
"Lo ngapain sih?"
Fairuz berdengus jengkel, "Nungguin bidadari dateng ke pelukan gue."
Sebelah alis Iqbal terangkat, "Bidadari? Lo pikir kita lagi di negeri dongeng?"
Bibir sohibnya dimanyunkan meski tak ada lucu-lucunya. "Adiba maksud gue, bal!"
"Yaelah." Cowok berkacamata itu tertawa lebar, "Lo masih ngarepin Diba setelah ditolak seminggu kemarin? Muka lo ditaronya di mana sih, sob?" ejeknya.
"Lagian mana mau Adiba masuk ke pelukan setan macem lo!" lanjutnya lagi. Kalimat yang membuat kekesalan Fairuz mencapai puncak ubun-ubun.
"Serah lo, gue cabut!"
"Wey, sob! Jiah, malah ngambek itu anak."
.
.
.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/148529783-288-k773278.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR: Lamar Dulu ke Rumah!
Spiritual#WritingProjectAe Genre: Romance Religi Status: On-going ---------------------------------------------------------------------- Kehidupan menurut Adiba adalah ibadah. Dunia merupakan ladang mengumpulkan pahala. Sedangkan sunnah-sunnahnya adalah nila...