"Sabar itu tak pernah ada batasnya. Hanya nafsu manusia yang kemudian membuat istilah 'sabar itu memiliki batas'"
***
Semester baru, kelas baru, teman baru. Sayangnya Annisa telat memilih kelas bersama Adiba karena pilihan gadis itu sudah penuh dengan mahasiswa lain.
"Gue gak sekelas sama lo, Dib," isaknya di ujung telpon
"Ya sabar, Nis. Bukan rezekinya berdua lagi, mungkin." Adiba menenangkan temannya yang sudah parau suaranya akibat menangis.
Sekarang ini, mereka tengah berada di ruang kelas yang berbeda. Annisa menghubungi Adiba lebih dulu karena dia pikir temannya itu akan kesepian tanpa dirinya lagi. Walaupun agak terkesan lebay sebenarnya. Kelas mereka sama dimulai pagi untuk hari ini, tentu dengan matakuliah berbeda.
"Ya udah, aku matikan ya? Assalamualaikum."
Satu ketukan pada ponselnya memutuskan sambungan dari orang di seberang sana. Napas halus lolos dari bibir Adiba, sepertinya keadaan sahabatnya itu sudah lebih baik daripada sebelumnya.
Kejadian satu minggu yang lalu benar-benar membuat perempuan yang biasa berpakaian casual itu terpuruk, ketakutan. Meski tak nampak di wajahnya yang berpura-pura tegar.
Adiba sangat bersyukur dua orang yang menolongnya saat itu sempat melewati jalan yang sama. Sangat bersyukur juga Fairuz pulang lebih larut dan bertemu dengan mobil Annisa.
"Tolong ikuti mobil Annisa. Saya agak khawatir, mulai tadi perasaan saya kurang nyaman."
Permintaannya saat itu dikabulkan oleh Fairuz. Adiba sangat berterima kasih, meski karena kejadian itu dua orang laki-laki yang dimintai tolong babak belur hingga mendapat beberapa luka jahitan di sekitar tubuh mereka.
Ah, kalau mengingat luka yang didapat keduanya gadis itu juga merasa amat bersalah. Jadi galau ya, kalau dipikir terus.
"Lho, Dib?" Suara dari seorang laki-laki mengagetkan gadis yang masih menatap layar ponselnya.
Adiba mengangkat kepalanya, pelan. Menelusuri dari baju hingga mata keduanya terkunci. "Iqbal?"
Cowok berkacamata menyunggingkan senyumannya. "Wah, keknya kita di kelas yang sama."
"O-oh, antum juga di kelas C?"
Mengambil kursi di sebelah Adiba, dia meletakkan tasnya di atas meja. "Iya, gue kira lo ambil kelas A sama kek Annisa."
"Awalnya Nisa dan saya mau ambil kelas yang sama. Tapi jaringan internetnya agak lola jadi waktu mau pilih, kelas yang saya masuki sudah penuh. Jadilah kami terpisah," terangnya.
"Oh, gitu. Hmm, ya udah betah-betahin aja sekelas sama gue semester ini biar gak galau ditinggal Annisa sendirian."
Gadis mungil itu pun tertawa kecil. "Lebay banget," ucapnya masih dengan sedikit tawa. Matanya lantas memperhatikan beberapa perban luka yang masih melilit di beberapa bagian tubuh Iqbal. "Masih belum sembuh ya?" tanyanya sedikit bersalah.
"Eh? Oh, ini. Udah enggak, Dib. Lusa juga mungkin dah sembuh."
"Kalau punya Fairuz?"
Iqbal terlihat sedikit berpikir sejenak, lalu mengusap belakang lehernya. "Kalau punya dia agak lama mungkin. Soalnya yang paling parah punya si Fairuz. Tapi alhamdulillah dia bilang oke-oke aja. Lo gak perlu khawatir, Dib. Semua aman terkendali kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR: Lamar Dulu ke Rumah!
Spiritual#WritingProjectAe Genre: Romance Religi Status: On-going ---------------------------------------------------------------------- Kehidupan menurut Adiba adalah ibadah. Dunia merupakan ladang mengumpulkan pahala. Sedangkan sunnah-sunnahnya adalah nila...