🌸 Bab VIII

147 8 0
                                    

Kalau ada orang yang paling dia cintai di dunia ini, tentu ada orang yang paling dihindari di dunia ini.

Fairuz Salim. Sebenarnya, itu cowok ganteng. Sebelas dua belas lah dengan pangeran-pangeran dubai yang bikin ngiler gadis-gadis Indonesia saat mereka bertandang ke negeri seribu pulau dan beragam kebudayaan ini. Hanya saja, kelakuan yang bikin Adiba geleng-geleng kepala--meski tak sampai copot--itu lah yang membuatnya setengah mati menghindari cowok berlesung pipit pemilik senyum manis.

Bahkan, kejadian ketika dirinya menolong Fairuz saat dikeroyok oleh beberapa preman, seperti sebuah mimpi. Dia ingat, meski tak jelas bagaimana rupanya saat itu. Tepatnya Adiba lupa total!

Otaknya masih merekam bagaimana orang ini menerobos kerumunan teman-teman yang sedang berbaris menunduk takut pada senior di hadapan mereka. Dengan cengiran khasnya Fairuz mendatangi Adiba dan bertanya.

"I-ingat saya, gak?" tanyanya antusias. Napasnya memburu karena kelelahan berlari. Yang dihadiahi tatapan aneh dari cewek berhijab panjang itu.

Dan berakhir dengan hukuman memutari lapangan kampus, yang lebarnya cukup memeras keringat hingga seember besar.

Dari awal saja Adiba sudah merasa kurang nyaman ketika Fairuz muncul. Surat aneh, bunga, teriakan memanggil namanya. Apalagi kejadian memalukan yang nyaris membikin gadis itu tidak ingin lagi masuk kampus.

Semua pasang mata melihatnya dan laki-laki yang tengah berlutut, memegang setangkai mawar merah. Menyatakam isi hati, meski sudahnya Adiba hanya mengabaikan dan berlalu pergi. Menjauh seusai mengatakan kata-kata keramat yang menggaung di seluruh sudut lorong kampus.

Namun kemarin, mereka berdua duduk di warung Pak Umang. Memakan bakso bersama, terlebih asik berbicara, membahas satu topik yang memang Adiba sukai.

"Dib," panggil seseorang. Beberapa kali dia melambaikan tangan di hadapan perempuan yang pikirannya dibawa setan.

"Oi!" Satu guncangan kecil menyentak Adiba dari lamunannya tentang Fairuz.

"H-ha? K-kenapa, Nis?"

Annisa yang sejak tadi memperhatikan, mencium hal tidak beres dari gadis ini. Aneh, tumben ni anak ngelamun gini. Pasti gara-gara ketemu cowok itu kemarin. Batin Annisa curiga.

Jari-jarinya menyentuh tangan Diba. "Dib, lo kenapa? Ada masalah? Cerita sama gue, ya?"

"E-enggak, Nis," tolaknya.

"Terus? Ini pasti ada kaitannya sama cecunguk itu, kan? Emang harusnya gue hajar aja dia!" Geram, Annisa memukulkan kepalan tangannya pada telapak tangan yang lain.

"Hus, gak boleh gitu," tegurnya lembut. "Sebenernya emang ada kaitannya sama dia.  Cuma aku lagi nimang kalau ikhwan itu gak seburuk yang aku pikirin selama ini."

"Kan! Lo tercyduck!" sergah Annisa. "Hati-hati! Pikiran lo bisa dibius sama dia, Dib!"

Meraih gemas, Adiba menarik pipi sahabatnya. "Annisa nakal!" ucapnya. "Jangan suka ngagetin gitu, ish! Bisa copot ini jantung."

Kedua telapak tangan Annisa menangkup tangan Adiba yang terus menarik pipinya. "Hih, Shaket!"

Si pelaku pencubitan melepas korbannya. Terkikik kecil, sedangkan yang satu mencebikkan bibir sambari mengusap buntalan daging di pipinya.

"Jadi ...," Nisa menggangtungkan kalimatnya. "Lo mau cerita, gak?"

Bergumam, Adiba terlihat berpikir. Lalu dia menggeleng, begitu seterusnya sampai-sampai orang yang menamaninya mengembuskan napas, lelah.

"Lo mikir apa sih, Dib? Fairuz lagi? Harusnya gak lo tolong dia waktu itu biar gak perlu berurusan sama itu anak."

Mata kecoklatannya disipitkan. Berkumut, Adiba terkekeh. "Kamu keliatan benci banget sama Fairuz, ya. Ti ati, lho. Katanya benci itu bisa jadi cinta."

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang