🌸 Bab XVI

80 9 0
                                    

Panas matahari menyentuh kulitnya hingga terbakar. Dua orang yang keluar mencari makan siang harus terjebak di tengah macet dan polutan ibu kota. Alamaternya dibuka karena tidak kuat menahan panas yang terus menyesaki.

"Berhenti di depan sana aja gimana? Ada kafe bagus deket belokan," ajunya pada penumpang di hadapannya.

"Boleh," setuju gadis yang sejak tadi duduk menghadap ke depan. Agak kesulitan untuknya bergerak karena didempet oleh banyaknya orang dalam angkot.

Begitu mendapat persetujuan Adiba, Iqbal menepuk pundak sopir yang sedang melawan arus kemacetan. "Pak, ntar berhenti di depan. Perempatan jalan."

"Siap, mas," jawabnya semangat. Kemacetan tidak membuat pria tua bertubuh kurus hitam itu lemas mencari nafkah.

"Siip ... stop, pak!" instruksi Iqbal.

Angkot yang sudah menepi menurunkan dua orang penumpang. Setelah membayar ongkos, Iqbal dan Adiba berjalan tidak terlalu jauh menuju lokasi kafe yang sempat mereka bicarakan.

"Assalamualaikum," lirihnya begitu memasuki kafe. Salamnya dijawab oleh laki-laki yang lebih dulu masuk.

Adiba mengikuti langkah Fairuz dari belakang. Sembari memperhatikan hiasan-hiasan dan desain kafe yang dipakai. Sederhana, para instagramable mungkin tidak terlalu tertarik datang ke kafe ini. Tapi penyuka kesederhanaan dan ketenangan seperti beberapa bapak dan ibu lebih memilih kafe ini untuk bertukar cerita di jam istirahat.

"Kamu tau kafe ini dari mana?" tanya Adiba seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan Iqbal. Sekarang dia sudah tak canggung lagi memanggil cowok itu dengan namanya, atau ber aku-kamu seperti barusan.

"Gue sering kemari sama mama," jawabnya sambil melihat menu.

"Hanya berdua?" Tangannya ikut mengambil daftar menu lain yang tersedia di meja.

"Hmm, bertiga sih."

"Bertiga?" beo Adiba.

Iqbal tidak melanjutkan. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman lantas memanggil pelayan untuk memesan sebuah makanan dan minuman. "Gue recommended kopi sama nasi goreng di sini. Apalagi yang seafood. Gue yakin lo suka."

Iqbal mengalihkan pembicaraan? Mungkin Adiba terlalu jauh bertanya masalah pribadi yang tidak perlu diketahuinya. "Maaf, tapi aku gak terlalu suka kopi. Mungkin aku pesan jus jeruknya aja kali, ya."

Bibir Iqbal mengembang, nampaknya Adiba mengerti jika dia tidak ingin melanjutkan pembicaraan tadi. "Oke, berarti dua nasi goreng seafood sama satu jus jeruk dan satu kopi hitam. Gula kopinya satu sendok aja ya, mbak. Gak usah terlalu manis, pakai air yang agak panas."

Pelayan perempuan tersebut menuliskan pesanan keduanya. Lalu membacakan ulang dan meminta pelanggannya menunggu makanan yang dipesan untuk diantar.

"Makasih, mbak," ucap Iqbal ketika si pelayan hendak pergi. "Tinggal tunggu, aja."

Adiba mengangguk. Netranya menyapu seluruh ruangan kafe. Dia merasa nyaman berada di tengah ketenangan dari semilir angin yang masuk lewat ventilasi-ventilasi kecil. Warna pastel, ornamen yang tidak terlalu banyak, bau bunga khas musim panas yang dijejer menggantung di tiap dinding, serta alunan musik gambus membuat Adiba rasanya akan betah berlama-lama di tempat ini.

Memang benar kafe yang Iqbal maksud bukan tempat ngehits. Tapi beberapa remaja penyuka warna pastel pasti suka tempat bernuansa lembut seperti kafe ini. Contohnya gerombolan gadis di meja paling ujung dekat dengan pintu masuk, sepertinya mereka sedang asik membicarakan sesuatu.

Omong-omong masalah kumpulan perempuan. Dia jadi ingat pada kejadian beberapa hari yang lalu. Saat dirinya ditarik dan nyaris disiram oleh kelompok nona Betris. Jika saja Iqbal telat sedikit menolongnya, Adiba pasti akan pulang dengan baju basah kuyup.

"Dib," panggil Iqbal. Tangannya dilambaikan karena orang yang dipanggil seolah-olah tidak ada di sana, hilang fokus.

Adiba mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian menatap laki-laki di depannya. "Ya? Kamu tadi ngomong sesuatu?"

Dugaan Iqbal benar. Kalau cewek yang tengah membalas tatapannya, jiwanya hilang entah ke mana. Mengembuskan nafas, Iqbal mengulang lagi pertanyaannya. "Gue barusan tanya, Dib. Kenapa Betris sama pengikutnya bisa ngelakuin kek kapan hari itu? Yang corat coret loker lo juga dia, kan?"

Pertanyaan Iqbal senada dengan pikirannya barusan. Adiba mematung, menolehkan kepala ke arah lain dan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

Namun, gadis itu tidak bisa lolos begitu saja. Sebenarnya, ini bukan urusan Iqbal memang. Dirinya tidak berhak mengusik hal pribadi seseorang. Tapi, jika menyangkut nama Fairuz sahabatnya dan Adiba yang sudah dia anggap juga seperti seorang sahabat, Iqbal tidak bisa hanya berdiam diri saja.

Sudah mencoba tidak peduli, mencoba menghapus niat untuk menolong. Lamun, hati kecilnya memang tidak bisa membohongi otak.

"Bilang sama gue, Dib. Ini masalah pasti ada sangkut pautnya sama sahabat gue kan? Si Fairuz?" todongnya.

Dan sayang sekali, Iqbal tahu jika Adiba orang yang cukup terbuka dari sahabatnya. Menarik napas sejenak, menunduk dan mengeluarkannya secara perlahan. "Sebelumnya aku mau tanya."

"Oke, tanya apa?"

"Kamu tau dari mana kalau Betris waktu itu mau melakukan hal buruk? Gak mungkinkan itu kebetulan?"

Kini Iqbal yang tidak ingin menjawab pertanyaan Adiba. Dia memutar bola matanya ke arah lain. Tidak lagi memandangi wajah Adiba. Kalau mengatakan alasan kenapa dirinya bisa berada di sana saat itu. Apa gadis ini tidak akan menceramahi, tertawa atau berpikiran hal-hal aneh?

"Bal? Kok gak dijawab?" tegur Adiba

"Oh." Mulutnya ditutup, kemudian berdeham singkat. "Waktu keluar dari kelas. Gue papasan sama Betris. Mereka ketawa-ketawa. Yah, sebenernya gue gak peduli masalah mereka. Cuma ...." Kalimatnya digantung.

Alis Adiba diangkat, "Cuma?"

"Cuma, gue langsung ngerasa gak nyaman begitu mereka nyebut nama lo di tengah-tengah pembicaraan. Jadi gue reflek ngikutin mereka."

"Kenapa ngikutin mereka?" Adiba mulai penasaran pada penjabaran demi penjabaran dari Iqbal.

Sementara lawan bicaranya tidak dapat menahan kekehan, melihat si gadis begitu tertarik. Akhirnya pelayan yang mereka tunggu datang membawakan kopi dan jus jeruk yang dipesan. Setelah berterima kasih dan si pelayan perempuan pergi, Iqbal melanjutkan. "Udah gue bilang, Dib. Gue relflek berbalik. Gak tau kenapa juga, kek udah ada tombol di otak gue. Biasanya gak gitu. Cuma berlaku buat Fairuz."

"Lho, terus aku?"

Deg!

Pertanyaan Adiba seperti menjebaknya. Menelan saliva susah payah Iqbal berujar, "Gue juga kagak tau."

Dan itu cukup membuat tanda tanya di kepala gadis berkerudung kuning kunyit makin besar. Akan tetapi Adiba lebih memilih untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Jika Iqbal sudah mengatakan begitu, berarti tidak ada alasan lain lagi.

Hening, keduanya sama-sama terdiam. Yang satu mengaduk-aduk sembari memperhatikan jus jeruknya. Satu lagi menyeruput kopi panasnya perlahan.

"Kenapa lo ngebiarin mereka gitu aja?"

Adiba mengangkat pandangannya dari jus jeruk. "Karena aku gak bisa ngelawan mereka."

Punggung Iqbal yang awalnya bersandar pada sandaran kursi dijauhkan. Tubuhnya dicondongkan ke depan, sementara tangannya dilipat di atas meja. "Tapi membiarkan kezoliman itu gak boleh, Adiba. Lo harus ngelawan mereka."

"Lantas mereka akan berhenti? Mengingat aku juga gak bisa bela diri dan hanya sendiri."

"Tapi manusia pasti punya batas kesabaran."

Cairan sari jeruk yang masuk membasahi tenggorokannya menetralisir, mengontrol emosi Adiba. Dia mengembuskan napas. "Bal," panggilnya lembut. "Kamu harus tau. Kalau sabar itu gak ada batasnya. Yang memberikan batas kesabaran adalah manusia itu sendiri karena hawa nafsunya."

Cowok itu bergeming. Tidak ada yang mampu dia bantah lagi. Seperti yang Fairuz ceritakan hari itu. Adiba benar-benar membungkamnya. Membuatnya sadar akan sesuatu yang sempat terlupa dari pikiran jernih karena lebih mengutamakan emosi.

Cewek yang benar-benar bikin lo tenang, Ruz? Boleh juga.

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang