🌸 BAB III

219 17 0
                                    

"Adiba!"

Astagfirullah, laki-laki itu lagi!

Dengan langkah cepat gadis itu membalikkan tubuh, menutup wajahnya menggunakan buku yang ada di pelukan, kemudian pergi menjauh, menerobos lautan manusia yang hilir mudik di koridor.

Lagi-lagi, untuk kali kedua dalam satu hari Adiba harus bertemu dengan Fairuz. Sepanjang melintas di koridor entah berapa bahu yang sudah dia tabrak karena terburu-buru. Takut jika sampai Fairuz menangkapnya dan mengatakan hal aneh seperti yang sudah-sudah.

"Dib!"

Sedikit lagi. Sedikit lagi tangan besarnya dapat meraih bahu perempuan mungil itu jika saja mas-mas bertubuh besar tidak menghalangi jalannya. Membuat mereka bertabrakan dan Fairuz harus terpental mencium lantai.

Gila!

Si gendut melirik Fairuz yang terduduk di lantai, sinis. "Pake mata lo kalau jalan!" sarkasnya.

Tidak mau kalah, cowok bertubuh sedikit--ingat,  sedikit!--atletis itu berdiri membusungkan dadanya. "Mentang-mentang punya badan gentong, ngalangin jalan seenak jidat!"

"Lo ngajak gue berantem?"

Seketika orang yang berlalu-lalang di koridor utama, mengalihkan tatapan mereka pada dua laki-laki yang sepertinya akan bertengkar itu.

Kesempatan bagus untuk Adiba yang bersembunyi di balik kerumunan orang untuk segera pergi menjauh. Langkahnya mengendap-endap lalu berlari kecil tanpa suara agar perhatian mereka tidak tertuju padanya.

Sementara Fairuz dan mas gendut sudah saling menarik kerah baju dan melemparkan tatapan nyalang.  Keduanya saling menggeram seperti anjing. Menggertakkan gigi seolah akan mengigit jika lawannya tak mau mengalah.

Garis bawahi ini. Fairuz bukanlah bad boy, bukan pula good boy, apalagi cupu boy. Dia hanya manusia biasa yang sukanya membuat onar kalau lagi kepengen. Tapi karena tampangnya yang sedikit rupawan membuat ciwi-ciwi yang tengah berseru cemas di sana jatuh hati ketika mendapat senyumnya.

Namun, karena tak pekanya cowok dengan lesung pipit di sebelah kanan itu. Banyak perempuan yang patah hati di saat mereka mencoba mendekati Fairuz akan tetapi dia malah mengejar gadis lain.

Sudut matanya menangkap siluet punggung gadis yang dia cari. Andai saja tidak berurusan dengan badak pesek ini. Fairuz sudah bisa menyusul bidadari mungilnya itu. Kenapa ada aja cobaan yang terus menghalangi dirinya bertemu Adiba, sih?

"Woi." Kerah bajunya dipererat. Tercikik, hingga tak bisa menghirup napas.

Buset, dah. Ini badak gak setengah-setengah mau bunuh orang apa?

"Lo ngeliat ke arah mana? Ngeremehin gue, lo?"

Fairuz menepuk-nepuk kedua tangan laki-laki gendut di depannya ini. Percuma menarik kerah baju, tenaganya tidak sebesar cowok gembul ini. Tepat di saat orang yang akan mengembuskan napas terakhirnya itu mengeratkan kepalan tangan, akan meninju wajah mas gendut ini. Sebuah interupsi dengan nada yang sedikit berat mengalihkan tatapan semua orang.

"Lepas atau gue lapor dosen biar kalian berdua diskors," ujarnya santai dengan tangan yang dilipat di dada.

Beberapa orang mengenal Iqbal dari banner besar yang terpasang di depan gerbang kampus. Dan mas yang mukanya setengah kusut saat ini berdecih singkat. Dia melepas Fairuz. Sama halnya dengan orang yang kehabisan napas itu, kepalan tangannya tidak jadi dilayangkan.

Ya kali, selesai urusan dengan si gentong. Fairuz yakin Iqbal yang akan menghantamkan satu pukulan pada hidungnya yang juga tidak terlalu mancung itu. Kasian hidung gue-lah. Dah minimalis gini juga.

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang