Hal yang paling dihindari cowok sepertinya adalah pasar.
Dan Fairuz saat ini berada di tengah keramaian berbau ketek, amis ikan, daging segar dan sebagainya bercamput menjadi satu. Inilah yang kita sebut sebagai PASAR.
Catat! PASAR!
Sambil merapal mantra, yang tertulis pada selembar kertas kecil di tangan. Laki-laki itu melantangkan suara, menunjuk-nunjuk benda berwarna hijau di hadapannya.
"Yang ini berapa, pak?" pekiknya cukup kencang, agar tidak tertutupi suara bising dari banyaknya manusia yang ada.
"Satu ikat lima ratus, mas!" tutur orang yang ditanya tak kalah nyaring, sambil memberi isyarat dengan tangan.
Telunjuk dan jari tengah diacungkan sambil berucap, "Dua!"
Si bapak langsung paham. Tangan kurus hitamnya mengambil dua ikat kangkung, memasukkan pada sebuah plastik kresek hitam dan memberikan pada pemuda, yang ikut menjulurkan selembar uang seribu rupiah.
"Thank you, bapak bro!" ucapnya sambil menggeser posisi secara perlahan, dari kerumunan ibu-ibu yang menyesaki penjual kanan, kiri, dan belakang.
Kenapa pula dia yang harus berbelanja di hari minggu seperti ini? Padahal, kalau diingat tadi Fairuz masih di kamar bermain game bersama Iqbal. Secara ajaib juga dua buah kantong plastik berukuran besar, dengan bermacam-macam isi, ditenteng susah payah keluar dari zona merah.
"Parah, rame bener! Mana bau ketek nyampur-nyampur bau amis pula!" kesalnya seraya bergidik jejap.
Sudah panas, bau, sesak, ramai dan menurutnya sedikit membingungkan. Karena tidak ada peta penunjuk di mana babang penjual ikan dan tempat babang penjual daging bermarkas, membuatnya kerepotan. Berjalan ke sana kemari, menanyakan tempat penjual ini di mana pada tiap kios yang dia lalui.
Peluh sebesar satu butir jagung terus menetes dari dahinya. Merasa menyesal, sudah memakai baju berlengan panjang yang makin membuat gerah. Kalau saja bukan karena bentuk tubuh Fairuz yang semi kotak-kotak itu, sudah lepas baju atasnya karena tidak tahan akan suhu panas..
Emak-emak itu hebat! Bagaimana tidak hebat jika, dalam medan perang yang Fairuz lihat saat ini mereka bisa keluar dengan selamat. Ditambah dengan tertawa-tawa bersama teman sesama ibu-ibu. Pantas saja mamanya bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk pergi ke pasar.
Bukan acara teriak berteriak saat akan membeli sebuah barang. Kegiatan tawar menawar pun dia yakinin menjadi salah satu alasan, mengapa ibu-ibu sangat lama saat berbelanja.
Gak di pasar, gak di mall. Kerjaan emak-emak pasti dah gitu. Nego, say. Dinego sampai okay. Cincay.
Sembari menarik-narik bajunya agar angin dapat masuk, Fairuz menyeret dua plastiknya berteduh di sebuah pohon besar dekat pasar. Baru saja menghempaskan bokongnya pada bangku kayu yang disediakan, teriakan dari seorang ibu mengagetkannya dan reflek berdiri sambil clingak-clinguk mencari sesuatu.
"COPET! COPET! TOLONG!"
Begitu menemukan sosok yang ditunjuk-tunjuk si ibu, Fairuz berdiri tegak dan mengejar pria bertopi dan berjaket hitam.
Dan ... meninggalkan barang belanjaannya karena yang ini katanya lebih asik.
"Woi berenti lo!"
Ya kali, Ruz. Mana ada copet mau berhenti pas disuruh berhenti. Bisa mati digebukin dia.
Teriakan dari wanita tadi, mengundang banyak pria yang ada di pasar ikut mengejar pencopet bersama Fairuz. Akan tetapi, gerakan gesit dari pelaku yang dikejar membuat beberapa pria tumbang tertabrak kerumunan orang bahkan barang yang diangkat oleh para penjual.
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR: Lamar Dulu ke Rumah!
Spiritual#WritingProjectAe Genre: Romance Religi Status: On-going ---------------------------------------------------------------------- Kehidupan menurut Adiba adalah ibadah. Dunia merupakan ladang mengumpulkan pahala. Sedangkan sunnah-sunnahnya adalah nila...