🌸 Bab XIV

77 8 0
                                    

"Lo?"

"Yo, assalamualaikum," ucap laki-laki itu tanpa ragu sambil memamerkan lesung pipinya. Dia pikir cewek di depannya akan tertarik seperti ciwi-ciwi emesh di kampus mereka? Sama sekali tidak!

"Ngapain lo di sini?" tanyanya curiga.

Si cowok menjawab santai. "Ada perlu sama camer. Gue duluan," katanya sambil berlalu pergi. Tetapi sama seperti empat hari kemarin saat mereka bertemu. Fairuz menghentikan langkah dan berbalik menatap Annisa di belakangnya. "Jangan lupa, kalau ada orang yang manggil salam juga dijawab. Dan, jilbab lo pake. Entar lo kena marah camer lagi."

Satu nasehat dari orang yang sekarang ini sudah bertingkah paling alim itu membuat Annisa makin geram. Kenapa sih? Kenapa dia harus berpapasan dengan Fairuz lagi, setelah tidak bertemu dengan wajah menyebalkannya itu selama tiga hari!

Rasanya seperti sedang dikutuk!

Ah, lupakan masalahnya. Adiba! Kini gadis itulah yang terpenting. Annisa harus menyelamatkan sahabatnya sebelum Fairuz membawa perempuan mungil itu kembali menjauh darinya. Atau lebih buruk lagi mereka harus berjalan berempat seperti biasanya.

Tapi, tunggu dulu! Jika tidak salah, cecunguk itu mengatakan kalau abi Adiba melarangnya bertemu dengan putrinya. Dia juga bilang kemari untuk bertemu camer--yang pasti kedua orang tua Adiba--. Berarti hari ini atau memang sudah lama Fairuz dilarang untuk bertemu dengan sahabatnya?

Halah! Ribet banget lo, An. Bikin kepala makin mumet.

Lantas Annisa berjalan di belakang laki-laki itu yang hanya berjarak beberapa senti. Bola matanya terus mengikuti arah pergi Fairuz, sampai bernafas lega karena benar, cowok itu tidak datang untuk mengunjungi Adiba. Dia berbelok ke arah pondok santri yang letaknya bersebelahan dengan rumah Om Rifai.

Dari saking intensnya mengekori punggung cowok itu, Annisa tidak memperhatikan ke arah depan. Ada undakan tangga yang perlu dia naiki sebelum sampai di depan pintu rumah Adiba. Alhasil, cewek berkemeja itu, jatuh terjerembab mencium lantai.

Tanpa sadar Annisa mengaduh kesakitan, setelah bunyi gedebug yang cukup keras akibat berbenturan dengan lantai kayu rumah Adiba. Sontak beberapa santri yang mendengar melihat panik dan mendatangi untuk menolong, meski agak ragu awalnya.

"Lo gak papa?" tanya seseorang yang suaranya amat sangat Annisa kenal. "Bisa berdiri gak?" tangan dijulurkan ke hadapannya, tapi langsung ditepis begitu saja.

"Ma syaa Allah, Annisa!" pekik perempuan yang ingin ditemui Annisa, keluar dari dalam rumahnya. "Kenapa bisa jatuh begini, Nis?"

Astaga, Adiba! Gue kangen banget sama lo! batinnya senang.

"G-gue ...." Akan tetapi Annisa tidak bisa menjawab pertanyaan gadis di depannya jika dia terjatuh karena memperhatikan Fairuz.

"Mungkin kesandung waktu mau naik, Dib. Lo bawa aja ke dalem. Kali aja ada yang luka."

Mulut Annisa sedikit menganga, mendengar cowok tengil ini membantunya menjawab pertanyaan Adiba. Sungguh pembullshitan yang haqiqi, lagi-lagi dia mengumpat dalam batin. Karena mengatakannya hanya akan membuat malapetaka hubungan antara dia dengan Adiba.

Adiba mengangguk kecil, kecemasan masih terlihat di wajahnya. Dengan perlahan tangannya merangkul lengan Annisa, membantu berdiri, dan dibawa masuk untuk diobati.

Entah harus percaya Fairuz itu sebenarnya baik atau sedang berpura-pura baik di depan Adiba, Annisa lebih memilih untuk terus waspada pada cowok menyebalkan itu.

***

Udara malam semakin menusuk, ditambah semilir angin yang menerpa wajah kedua perempuan yang tengah berjalan bersama membuat kedua pipi dan batang hidung mereka ikut menjadi beku.

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang