ϟ6ϟ

1.7K 126 7
                                    

Aku sedang berbelanja di sebuah supermarket dekat rumah ketika seseorang memanggil namaku setengah berteriak.

“Awan?!”

Kepalaku tertoleh ke samping kiri, mendapatinya yang tengah melambaikan tangan. “Eh?”

“Lagi apa?” tanyanya begitu mendekat.

Aku berdecak. “Menurut lo?”

Dia nyengir lebar sampai matanya hanya terlihat satu garis. “Belanja?”

Aku mengangguk satu kali. Kemudian memasukkan bawang putih ke dalam kantong plastik untuk di timbang.

Dia, entah dimana sekarang.

Aku langsung terlonjak saat menoleh ke arah kanan. “Nyariin ya?” tau-tau ia sudah muncul saja di sebelahku sambil nyengir lebar menunjukkan sederan giginya yang rapi dan bersih. Aku mengelus dada kaget, lalu beranjak ke kasir.

“Lo kenapa ngikutin gue sih?” aku bertanya kesal. Dari tadi dia memang selalu ada di belakangku, dengan tangan membawa beberapa bungkus cokelat berbagai merk.

Alisnya terangkat sebelah, lalu tertawa geli, beberapa orang yang tengah mengantri di depanku menoleh ke arah kami.

Guntur menyebalkan! Eh, maksudku, cowok itu menyebalkan.

“Siapa yang ngikutin elo sih? Gue juga mau bayar kali. Di kasir yang lain antriannya itu lebih panjang dari ini. Ogah deh gue ngantre lama-lama.” Dan perkataannya memang benar.

Ah, Awan, kenapa lo malu-maluin gitu sih?

Cepat-cepat badanku berputar ke depan sebelum ia menyadari bahwa pipiku memanas dan mungkin sudah berubah warna jadi merah saking malunya. Sungguh, seumur-umur aku belum pernah bertingkah seperti ini.

“Nggak usah malu, nyante aja sama gue.” Seseorang berbisik di belakangku, tepat di telinga. Suara itu suara cowok, dan suara itu adalah kepunyaannya. Aku memicingkan mata sejenak, itu malah semakin membuatku malu.

Benar-benar sialan hari ini.

Hujan sudah turun di luar, bukan hanya gerimis yang rintik-rintik, melainkan deras seperti ada berjuta-juta liter air yang di tumpahkan secara berbarengan. Sudut bibirku menyungging membentuk senyum tipis. Akhirnya, hujan itu menyemarakan malam yang senyap.

Beberapa orang yang sudah keluar dari supermarket kembali masuk ke dalam, udara di lobi terasa dingin dan menusuk, airnya-pun menciprat kemana-mana. Hanya ada satu-dua orang saja yang menemaniku di lobi ini, dan dia salah satunya. Dengan cup berisikan coklat panas yang mengepulkan asap, ia berdiri di sampingku, sementara satu tangannya yang lain menyelinap ke dalam saku celana jins yang ia kenakan.

Keningku mengernyit tanpa sadar.

“Hujan itu bikin awan jadi kelabu, tapi kalo udah keluar semua airnya, awan jadi cerah lagi. Ya..., biarpun beberapa masih ada yang mendung sih.” Tiba-tiba ia menggumam dan menoleh. Aku yang sedari tadi tengah mengamati wajahnya langsung membuang muka.

Dengan angkuh, aku menatap rinai hujan yang rapat. Itu juga karena aku sadar bahwa ia tengah mengamatiku.

“Kenapa lo dingin banget sama gue? Atau sama semua orang? Jangan-jangan termasuk ke Sakti juga?” cecarnya datar tanpa emosi. Membuatku tertarik untuk balas menatap matanya yang serupa mata elang, tajam, namun ada keteduhan dan kelembutan yang membuat siapun tertarik untuk terus berlama-lama melihat ke dalam mata itu, juga terus menyelami dan menguak semua misteri di baliknya. Akupun salah satu yang ingin melakukan itu.

Kembali aku menatap sang hujan. “Apa?”

“Sedingin itukah hujan, sampai awan juga ikut merasa dingin?”

Aku diam. Hujan bergemuruh menyentak tanah, di iringi oleh sang petir yang menyeru marah. Musim hujan kali ini bagiku terasa spesial. Entah karena apa.

Sesekali, telingaku menangkap tangis dari bocah di dalam supermarket. Kakiku perlahan mundur 3 langkah, cipratan air semakin jauh masuk ke lobi, membuat ujung celana kainku jadi sedikit basah, wajahku apalagi, sudah seperti di siram air satu gayung. Tapi dia tetap diam di sana, mengabaikan cokelat panasnya yang kini sudah kemasukan percikan air hujan.

“Apa petir saat hujan belum cukup menghangatkan?” papan baliho di seberang jalan nyaris roboh. Orang-orang di dalam supermarket yang melihatnya seketika terpekik tertahan. Aku sendiri hanya diam menyaksikan. Untung, jalanan sudah sepi dari kendaraan.

Bukan hanya petir yang menyalak, angin pun kini sudah turun tangan. Dingin mulai mengerubungi, membuatku harus menaruh tentengan belanjaan pada bangku panjang yang ada di sampingku, lalu memeluk diri sendiri.

Aku, yang hanya terbalut kaos kedodoran berlengah pendek dan celana kain yang ujungnya sudah basah mulai tak kuasa menahan dingin. Gigiku mengeluarkan bunyi gemeletuk pelan. Harusnya aku masuk saja ke dalam supermarket yang biarpun ber-AC masih tetap hangat, alih-alih diam mematung melihat punggung cowok itu yang terlapisi jumper abu-abu.

“Nih, pake.” Saat lamunanku meliar mengikuti arus hujan yang semakin menggila, ia berbalik dan menyodorkan jumper-nya. Aku diam mematung saking bingungnya harus merespon apa. Tapi dia menyikapinya dengan membuang cup cokelat-air hujan ke tempat sampah dan menguraikan pelukanku sendiri. Di pakaikannya jumper itu padaku. Rasa hangat mulai melindungiku, pada suhu juga hatiku. Ia tersenyum tipis, dan mengacak rambutku.

Alih-alih protes atau marah, aku membalas senyumnya singkat. Sentuhan itu... terasa berbeda. Jelas, karena tidak ada laki-laki lain yang menyentuhku kecuali keluargaku sendiri dan Sakti, pacarku.

“Makasih. Lo, nggak kedinginan?” aku bertanya kaku.

“Gue, Guntur.” Jawabnya sok diplomatis. Tunggu, itu namanya, kan? Aku menatapnya bingung.

“Guntur itu petir. Petir itu membawa arus listrik. Arus listrik itu panas. Kesimpulannya, Guntur masih tetap hangat.” Jelasnya dengan tatapan jenaka dan tersenyum geli. Apa dia sedang mecoba untuk membuat lelucon? Oh ayolah, otakku tidak seencer kelihatannya.

“Ya ampun, omongan gue aja di pikirin. Udah ah, ini bukan soal Fisika atau Matematika kok.” Selanya di antara pikiranku. Lagi, ia mengacak rambutku.

Dia bergeser ke samping kiri, di mana ada sebuah bangku panjang yang telah di tempati oleh kantong plastik belanjaanku. “Duduk sini, hujan masih kelihatan kok dari sini.” Katanya sambil menghempaskan badannya di atas bangku kayu itu. Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya.

Hujan ini adalah kali keduanya aku menghabiskan waktu dengan dia.

“Emm... mau cokelat? Kalau mau, itu ada di saku jumper yang lo pake.

ϟϟ

Awan dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang