Awan dan Kisahnya

1.4K 104 1
                                    

“Wanda?”

Jeda.

“Aku membuatnya sewaktu hujan. Dan siapa tahu, kamu mendengarnya juga di saat hujan.” Dihelanya napas, sekali. “Maaf, aku nggak bisa kayak gini terus. Aku ingin semuanya selalu baik-baik aja, tapi ternyata, nggak.”

Ia tertawa, terdengar hambar.

“Lucu ya, kita tiba-tiba berubah. Drastis, malah. Dari dulu kita nggak pernah berantem, bahkan sejak kita pertama kali bertemu di bangku SMP. Di kelas, dulunya kita nggak saling kenal. Bahkan sampai hampir satu tahun, untung ada tugas yang mewajibkan untuk berkelompok. Kita di kelompok yang sama, awalnya canggung, tapi lama-lama, setelah menemukan beberapa kesamaan, kita mau bertegur sapa.

“Tiga tahun kita bareng sewaktu SMP. Dan nggak nyangkanya, masih bareng di SMA meskipun nggak sekelas. Status teman ‘bertegur-sapa’ itu akhirnya ganti, menjadi sesuatu yang sampai sekarang pun nggak pernah aku sangka. Pacaran.” Ia terkekeh, begitu pula denganku. Aku juga tidak pernah menyangkanya, pada suatu waktu di bangku SMA, pertama kalinya aku memiliki pacar dan Sakti lah orangnya.

“Jujur, aku lupa, kapan kita jadian. Kapan aku nyatain perasaanku ke kamu dan kamu mengiyakan pertanyaanku. Wanda, kamu inget?” aku tersenyum menerawang. Sayangnya, tidak juga. Yang aku ingat, waktu itu kami berpapasan di selasar koridor laboratorium kimia dan Sakti bertanya, “Wan, mungkin nggak, kalau kita pacaran?” dan aku mengangguk.

“Untuk pertama kalinya, kita sama-sama jenuh dengan yang namanya ‘pacaran’ yang kita lakukan. Kita terlalu dingin dan cuek. Yang lain pada protes, katanya kita itu sebenernya udah serasi banget, tapi kurang manis. Apalagi yang namanya Atha, dulu, setiap malam dia sms atau nelpon aku supaya merubah ativitas di pagi hari sebelum tiba di sekolah; jemput Wanda. ‘Pacaran kalian tuh aneh, tau nggak, sih? Nggak unyu banget, asli! Gue saranin ya, mending tiap pagi lo jemput dia, deh.’ Gitu katanya, sambil ngomel-ngomel nggak jelas,” jeda, “yang pacaran kita, tapi mereka semua yang repot. Dan, yah, sifat kita berangsur-angsur berubah, kita rela nyuri-nyuri waktu padat kita untuk ketemuan. Entah itu nonton tv bareng atau minum teh.

“Aku juga yakin, sifat kamu yang kadang cerewet itu dapet dari Atha. Iya kan?” kembali ia tertawa hambar.

“Wanda, aku nggak apa-apa kamu merasa bosen sama aku, kamu merasa jenuh dan jengkel sama aku karena aku nggak perhatian dan cuma punya sedikit waktu buat kita berdua. Atau kamu dekat dengan siapa aja, cewek maupun cowok, aku nggak apa-apa. Tapi, aku akan ada apa-apa kalau kamu nggak jujur sama aku. Aku nggak bisa untuk jadi orang yang paling nggak tau padahal itu ada hubungannya denganku. Aku nggak mau ada rahasia, Wan. Aku mau, kita sama-sama jujur. Bukan kayak gini.

“Jujur, aku kecewa. Yah, cemburu juga, pastinya. Kamu sendiri tau, aku paling benci dengan perasaan bernama kecewa itu. Jadi, maafin aku, aku nggak bisa selamanya mengatakan kalau aku itu baik-baik aja. Ada kalanya aku marah, benar-benar marah sampai aku bingung sendiri gimana cara melampiaskannya.”

Sial. Aku menangis lagi. Sakti sedang apa, ya, sekarang? Rindu ini kadang menejadikanku seperti orang linglung yang tidak tahu apa-apa kecuali berpasrah diri.

“Kamu benar. Aku terlalu kalem dan cuek, sampai-sampai saudaraku sendiri suka sama kamu dan aku membiarkannya gitu aja. Giliran gini, malah aku yang marah. Sama kamu, sama dia, dan sama diriku sendiri. Wanda, mungkin nggak, kalau kita semua bakal menangis? Dia, aku, dan kamu. Apalagi, di luar sedang hujan. Hujan yang pilu. Beraroma sendu.

“Wanda. Bagiku sendiri, masalah yang ‘simpel’ ini kok terdengar lucu, ya? terlalu dramatis. Aku yang nggak suka ketidakjujuran, kamu yang mengangkat tinggi harga diri, dan dia yang bertingkah semaunya sendiri.”

Ucapan Sakti selalu benar.

“Wanda. Ayah, ibu, aku, dan dia, akan pergi ke suatu tempat. Pindah. Malam ini juga, soalnya Ayah memang sengaja beli tiket pesawat yang penerbangannya malam. Habis, mau bagaimana lagi. Kami sekeluarga juga sebenernya nggak ingin, tapi hidup kami nggak berjalan kalau kami nggak pindah, urusan bisnis Ayah, Wan.

“Wanda. Selamat menikmati hujan. Selamat merenungkan diri. Selamat menyadari kesalahan. Dan, selamat berpisah. Semoga, suatu kali di masa depan, saat kita bisa kembali bertemu, nggak ada yang namanya masalah ‘simpel’ yang dramatis seperti ini lagi, ya.”

Selesai. Rekaman itu berhenti. Tidak lagi bersuara. Aku mengusap air mata yang menetes menggunakan punggung tangan. Ini sudah puluhan kalinya aku mendengar rekaman suara Sakti sambil meneteskan air mata.

Di luar sana, matahari memanggang bumi. Musim kemarau kali ini merajai Indonesia. Sudah jarang turun hujan. Di mana-mana yang ada hanya birunya langit, kemilaunya matahari, dan beberapa setumpuk awan di beberapa titik.

Yah, begitu lah. Bulan-bulan ini, tidak ada lagi yang namanya awan, hujan, apalagi guntur.

Aku memasukkan sebuah alat perekam suara itu ke dalam laci nakas. Memasukkannya ke sebuah kotak yang di atasnya tertulis namaku, ditulis tangan oleh Sakti sendiri. Hadiah darinya sebelum ia benar-benar meninggalkanku bulan lalu. Begitu menutup laci, aku menyempatkan untuk menatap pantulan tubuhku di cermin. Mengecek penampilan. Hari ini, aku akan pergi bersama Atha, mencari beberapa novel di toko buku. Yah, hobi baru, mengoleksi novel.

ϟϟ

[Berlanjut pada kisah selanjutnya]

Awan dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang