Sekarang aku tahu apa yang orang katakan itu memang benar. Ketika kau sedang bersama dengan orang yang mampu membuatmu nyaman maka waktu seolah berjalan dengan sangat cepat, dan sekarang itulah yang kurasakan.
Aku menoleh dan memandanginya, angin yang berhembus pelan menerbangkan beberapa anak rambutnya menambahkan kesan indah ketika memandangnya. Dengan latar belakang senja yang indah semakin membuat perpisahan ini terasa membekas di hati ini.
Tidak, bukannya aku berharap untuk bisa menahan dia disini, walau memang seperti itu kenyataannya, namun aku tak mau menjadi egois dengan melakukan semua itu.
Aku ingin membuatnya bahagia di sisa hidupnya. Sudah cukup seperti ini saja, kumohon biarkanlah seperti ini sebentar lagi, aku masih ingin merekam semua tentangnya dalam ingatanku, apapun itu.
Kumohon.
.
.
.
.
"woy anjir! Bang ini kenapa lampunya mati? kan ini belum kelar gua nonton filmnya!" setelah tak mendapat balasan jawaban kini ia mulai khawatir, bagaimana jika di salah satu sudut rumah ada sesosok yang mengawasinya diam-diam.
Memikirkannya saja sudah mampu membuatnya merinding ketakukan, apalagi jika memang benar terjadi mungkin ia akan mati saat itu juga, baiklah itu memang agak berlebihan tapi memang itulah yang ia pikirkan.
Dengan rasa takut itu ia mencoba untuk menuju pintu utama dan berharap keluar dengan selamat dari rumah ini, mungkin saja bukan jika ia akan diculik oleh para makhluk tak terlihat yang sangat tampan yang diam-diam selama ini menyukainya dan ingin menjadikannya istri. Bukannya halu, hanya saja itulah yang biasanya ia baca dalam buku, apakah salah jika ia berfikir itu akan terjadi padanya saat ini.
"Plis ya, siapapun atau apapun yang ada disini gak usah nakutin gua ya... Gua tuh anaknya cengeng, gak usah ya, ntar kalo gua nangis kejer gimana? Mau emangnya gua suruh beliin mobil? Mau?" Lina mengatakannya dengan meraba-raba di sekitar sofa apakah dia dapat menemukan hp miliknya.
"Dasar matre lo!"
"Itutuh namanya realistis bukan mat- ANJAY GUA NGOMONG SAMA SIAPA! SETANNN!" ia langsung berlari meraih pintu lalu keluar dari rumahnya.
Namun tak lama setelah itu dia mendengar suara pintu yang dibuka perlahan ternyata seperti ini rasanya jadi induk ayam, yang kemanapun selalu diikutin. Kalo ayam sih gua mau kan comel, tapi kalo setan gua gak mau!
Lina menundukkan badannya dan jongkok, entahlah ia merasa kalau ia ingin berlari itu juga percuma, bukankah hantu itu bisa berpindah-pindah dalam waktu yang singkat?
"Pliss ya setan, pergi sono udah gua gak suka sama lo. Pengen banget gua bacain ayat kursi, tapi masalahnya gua gak tau anjir, kalo gua kasih ayatnya ntar lo baca sendiri gimana? Kursinya entar gua ambilin dulu, nanti gua hantamin ke muka lo!"
Apaan sih dek! Gak jelas banget, masa orang seganteng ini dibilang setan. Yakali ada setan setampan gua. Mendengar itu membuat Lina menoleh dan menghembuskan nafas lega, setidaknya bukan setan yang sesungguhnya.
"Ada, Edward itu lebih ganteng daripada lo bang." Lina berdiri dan menepuk-nepuk lututnya membersihkan debu yang menempel disana.
"Lah bege, Edward itu vampir bukan setan."
"Sama aja kali bang, kan mereka sama-sama gak nyatanya."
"Serah dah, sebahagia lo."
"Btw ya bang, kenapa rumah kita listriknya mati? Bukannya kita punya genset buat keadaan kayak gini?" Lina menghampiri David yang berdiri di depan pintu rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alforis Academy
FantasyHal yang tiba-tiba masuk menjadi sebuah naskah hidup yang harus dijalani oleh ketiga kakak beradik dengan marga Sulaiman, bagaikan dalam dunia tak nyata yang selama ini hanya ada dalam angan saja, atau mungkin tak terfikirkan sama sekali. Mulai dari...