Bahagia [Versi Tulis Ulang]

15.7K 815 7
                                    

Setiap wanita pasti ingin memiliki pernikahan bahagia, seorang suami penuh kasih lalu anak-anak nantinya. Namun, untuk Lisana semuanya hanya impian. Sudah beberapa bulan pernikahannya dengan Alfian, sikap pria itu tidak lebih baik dari sebelumnya. Malah Lisana merasa kebencian Alfian semakin bertambah.

"Aku membuatkanmu kopi. Ini sudah larut malam, istirahatlah." Tangan Lisana yang menyodorkan secangkir kopi lansung ditepis oleh Alfian, menyebabkan cangkir beserta isinya itu tumpah ke lantai.

"Kau tidak usah berpura-pura peduli padaku. Aku tidak membutuhkannya." Alfian tanpa berbalik dari pekerjaannya berkata dingin pada Lisana. Dia meneruskan pekerjaannya mengedit novel terbarunya yang akan segera rilis dua minggu lagi. Memang karena keadaan kaki Alfian yang lumpuh membuatnya harus berhenti mengejar impiannya menjadi seorang dokter, tapi beruntung dia masih memiliki bakat lain yaitu menulis untuk membuatnya mandiri daripada menjadi beban orang lain.

"Ouch," jari telunjuk Lisana tak sengaja tertusuk pecahan beling cangkir pecah. Berusaha menahan ringisannya, Lisana tidak mau menggangu konsentrasi Alfian. Dengan hati-hati meski jarinya masih sakit, dia membersihkan pecahan tersebut, khawatir pecahan itu akan melukai Alfian juga.

"Baiklah." Lisana menatap sedih Alfian. "Selamat malam," ucapnya lalu mundur perlahan keluar dari ruang kerja suaminya.

Alfian menggembuskan nafasnya berat. Dia melempar tumpukan buku di sampingnya ke dinding. Konsentrasinya sudah pecah. Kenapa wanita tidak pernah lelah mengangunya?

"Biarlah." Alfian berusaha meredakan emosinya. Dia mencoba fokus kembali pada novelnya, dia harus sangat berkonsentrasi untuk menemukan setiap kesalahan dalam naskahnya, bila tidak dia pasti akan menyusahkan editornya nanti. Alfian paling benci dikasihani apalagi menyusahkan orang di sekitarnya, itu membuatnya muak karena selalu mengingatkan bahwa dirinya sudah cacat.

"Lisana. Dia pasti cuma ingin melihat kesusahanku saja. Dia mungkin sedang tertawa di kamarnya menghinaku sekarang." Alfian mendengus, melanjutkan mengetik di laptopnya.

Di dalam kamar tidak seperti dugaan Alfian, Lisana tengah menangis, suaranya teredam bantal dan tubuh mungilnya gemetar. Rambut panjang miliknya yang diikat kendor lepas hingga menutupi sebagian wajahnya. Sampai karena rasa sakit di hatinya itu, luka di jari tangannya tidak ia pedulikan. Padahal darah semakin banyak keluar dari luka itu.

"Mengapa kau sangat membenciku Alfian? Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu atau dia. Kenapa kau tidak bisa percaya padaku?"

Di tengah isakan Lisana terus bertanya kenapa suaminya begitu membenci dia. Pernah satu kali Alfian berkata,  "Mengapa kau tidak mati untuk menebus dosamu?"

"Apa memang aku harus mati?" Mata hitam Lisana berubah kosong. "Apa kau akan senang jika aku mati, Alfian?"

Lisana melangkah keluar dengan hanya memakai sandalnya menuju jalan besar. "Apa kau benar-benar akan bahagia?" Langkah lunglai Lisana perlahan menuju tengah jalan dan tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.

Dalam kilatan cahaya mobil yang makin dekat, Lisana tersenyum. "Aku harap dengan begini kau bisa bahagia, Alfian."

Rusaknya PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang