"Kenapa kau meninggalkanku setelah berjanji untuk terus bersamaku, Nila?" Alfian mengepalkan tangannya.
Dua tahun lalu Alfian pernah jatuh cinta pada seorang wanita, tapi sayang perasaanya tidak terbalas. Di tambah kelumpuhan kedua kakinya akibat kecelakaan semakin membuatnya frustasi. Di saat ia berpikir untuk menyerah pada hidupnya, Nila datang dengan sebuah tawaran, dia mau menemani Alfian yang telah kehilangan kedua kakinya sampai mereka tua meski tahu Alfian tidak akan pernah mencintainya. Ketika Alfian menanyakan alasannya, Nila tersenyum dan berkata, "Alasanku hanya satu. Aku mencintaimu."
Maksud satu kalimat Nila sangat sederhana. Dia ingin menemani Alfian, pria yang dicintainya, walau tahu kelak selama sisa pernikahan mereka Alfian tidak akan pernah menjadi milik dia sepenuhnya, Nila tidak masalah. Karena tersentuh dengan ucapan Nila itu, Alfian akhirnya setuju untuk membangun rumah tangga bersamanya.
Walau sebenarnya wanita yang dicintai Alfian kala itu sedang sendiri karena pasangannya meninggalkannya, Alfian sadar tetap saja dia tidak memiliki kesempatan. Dengan kedua kakinya yang lumpuh, cuma Nila wanita yang bisa mencintainya dan mau dengannya. Sedang wanita yang dicintainya itu mustahil mau bersama pria cacat seperti dirinya.
"Awalnya aku percaya padamu, tapi pada akhirnya kau sama seperti yang lain. Meninggalkanku dan tidak bisa menepati janjimu." Alfian terus berbicara sendiri di depan makam. Seolah Nila ada di sana untuk mendengarkan.
"Kau tahu aku sekarang malah menikah dengannya karenamu. Kenapa kau meminta hal itu sebagai permintaan terakhirmu? Apa menurutmu aku akan bahagia dalam pernikahan ini?" Nada Alfian marah, tapi lebih banyak ada kepahitan di dalamnya.
"Sekarang aku berhasil mengikatnya denganku, tapi sampai kapan? Aku tahu..., kau juga tahu kenyatannya, Nila." Kepala Alfian tertunduk, rambut coklat mahoninya menutupi mata senada miliknya. Bibir tipisnya pun berucap fakta yang selama ini membuatnya sakit, "Lisana hanya mencintai saudara kembarku Adrian. Dan itu tidak akan akan pernah berubah. Apa salahku padamu hingga kau mendorongku dalam neraka ini?"
Tentu Nila tidak bisa menjawab karena wanita itu telah lama mati. Tubuhnya telah terkubur di bawah tanah dan jika pun ada arwah Nila di sini, Nila juga tidak akan pernah sanggup menjelaskan semuanya pada Alfian apa alasan sebenarnya dia menulis surat permintaan terakhir macam itu.
"Tuan Alfian." Seorang pria paruh baya datang mendekati Alfian dari belakang. "Apa tuan Alfian tidak pergi menjenguk nyonya Lisana di rumah sakit hari ini?"
Alfian menggerakkan kursi rodanya dan berbalik. "Aku tidak bisa menjenguknya hari ini, editorku akan datang malam ini untuk mengambil naskah. Pak Darmo, aku harap kau belum memberitahu ibu tentang keadaan Lisana."
Pria paruh baya yang dipanggil pak Darmo itu menggeleng. Dia adalah supir pribadi Alfian dan kakak kembarnya Adrian sejak mereka kecil, dan semenjak kepergian Adrian dan kaki Alfian lumpuh, dia lah yang ditugaskan khusus oleh ibu Alfian, nyonya Dian untuk mengantar putranya itu kemanapun ia pergi.
"Terima kasih, pak. Aku tidak ingin ibu khawatir dengan kondisi Lisana, di saat keadaan ibu sendiri juga kurang baik. Aku takut penyakit jantung ibu kambuh karena pak Darmo tahu sendirikan ibu sangat menyayangi Lisana."
"Iya, saya tahu tuan. Nyonya besar memang sangat menyayangi nyonya muda Lisana, tapi sampai kapan tuan akan menutupi semuanya?" Pak Darmo takut nyonyanya akan marah pada tuan mudanya karena telah menyembunyikan semuanya nanti.
Alfian mengigit bibir bawahnya, sebelum menggembuskan nafasnya berat. "Lisana akan pulang beberapa hari lagi. Ibu tidak akan mengetahuinya, kalau pun beliau nanti tahu berita ini, aku sendiri yang akan menjelaskannya. Jadi pak Darmo berhenti mengkhawatirkanku."
Tidak tahu harus berbicara apa lagi, pak Darmo pun hanya bisa menerima semua. Setelah itu Alfian pun pergi meninggalkan pemakaman untuk pulang ke rumahnya. Di perjalanan jari Alfian tak hentinya menyentuh cincin pernikahan miliknya. Selama ini dia terus berusaha untuk membuat Lisana menyerah pada janjinya, tapi wanita itu terlalu keras kepala dan sampai ingin mengorbankan dirinya hanya untuk menjaga janji tersebut. Meski ia tahu itu kesalahannya juga, karena kemarahan dia sempat mengatakan Lisana mati saja demi menebus dosanya. Sesungguhnya sepantasnya Alfian tahu dia yang harus mati.
"Kau melakukan ini semua bukan cuma karena permintaan terakhir Nila, kan? Tapi karena demi janjimu juga pada Adrian, Lisana." Tapi tetap Alfian sangat membenci kenyataan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rusaknya Pernikahan
Literatura Feminina"Tak perlu segunung emas atau sebuah rumah mewah untuk membuatku bahagia. Hanya mendapat satu senyuman dari suamiku saja sudah cukup. Tapi apa yang kuharapkan tidak pernah kudapatkan. Hanya satu senyuman saja darinya untukku adalah mustahil, ibarat...