Besok paginya seorang pembantu mengetuk pintu kamar Lisana, dia memberitahu bahwa sebuah mobil telah dipersiapkan untuk membawanya ke apartemen, pembantu itu juga berkata dia disuruh oleh Alfian untuk membantu Lisana merapikan pakaian dan hal lainnya.
Lisana tentu lansung menolak tawarannya, sebagai gantinya dia menanyakan keberadaan Alfian.
"Nyonya," pembantu itu mencoba membujuk Lisana, tapi Lisana tetap menolak membiarkan pembantu itu menunaikan tugasnya.
"Aku ingin bertemu Alfian. Tolong beritahu di mana Alfian sekarang?"
Pembantu itu pun menyerah, dia mustahil menolak perintah nyonyanya walau pasti sang tuan akan marah padanya nanti. "Tuan ada di beranda timur, nyonya Lisana."
Mendapatkan jawaban, Lisana segera pergi menuju beranda timur. Tanpa memperdulikan wajah pembantu di belakangnya yang pucat karena ketakutan.
Memacu langkahnya mendaki tangga ke lantai dua, Lisana berbelok ke arah timur bangunan rumahnya yang besar itu. Lisana tahu bahwa bagian timur adalah daerah privasi milik Alfian, di sana ada kamar dan ruang kerja tempat biasa Alfian menulis. Beranda yang disebutkan pembantu itu juga adalah beranda yang ada di kamar Alfian. Beruntung pintu kamar Alfian tidak dikunci, Lisana lansung masuk dan melihat ke arah jendela besar yang terbuka. Di beranda Lisana melihat Alfian tengah memandang ke arah gerbang, di depan gerbang ada sebuah mobil hitam yang Lisana tahu dipersiapkan untuk mengantarnya pergi.
"Alfian," panggilnya.
Alfian yang sedang tenggelam dalam lamunannya terkejut saat mendengar suara Lisana dari belakang. Dia segera memutar kursi rodanya lalu melihat Lisana yang sudah berdiri tak jauh darinya.
"Kau... kenapa ada di sini?" tanya Alfian bingung. Dia sekilas melihat mobil yang ada di gerbang lalu kembali memfokuskan pandangannya lagi ke Lisana. "Kau seharusnya tidak berada di sini," kata Alfian marah.
Lisana tidak memperdulikan Alfian yang marah, dia mendekati Alfian sebelum Alfian sendiri dapat mundur menghindarinya. Dia memegang kursi roda Alfian demi membuat Alfian tetap diam dan mendengarkannya. "Aku tidak mau pergi."
"Lisana!" bentak Alfian, wajahnya memerah karena amarah dan rasa gugup ketika wajah Lisana makin dekat dengan miliknya.
"Aku tidak mau pergi, Fian. Aku tidak mau bercerai."
"Lisa-" Alfian tidak sempat menuntaskan ucapannya karena bibir Lisana menutup mulutnya. Bibir tipis Alfian tidak bisa mengeluarkan suara apapun lagi sedang mata coklatnya membulat karena shock. Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik tapi membawa dampak sangat besar bagi Alfian.
"Kau..." Lisana menghentikan ucapan Alfian lagi dengan pelukan kali ini. Tangan Lisana melingkari leher Alfian dan tubuhnya maju menekan lembut Alfian di kursi roda, kepalanya bersandar di lekukan lehernya membuat Alfian dapat merasakan deru nafas berat Lisana dan pundaknya yang mulai basah oleh air mata. "Kau menangis?" nada suara Alfian melemah. Dia tidak tahu apa sebenarnya terjadi sekarang, Alfian bingung tentang sikap Lisana.
Tubuh Alfian tetap kaku, saat pelukan Lisana bertambah erat. "Lepaskan aku. Kau harus pergi." Alfian menguatkan hatinya dan berusaha melepaskan pelukan Lisana padanya. Namun, Lisana sangat keras kepala dan terus memegang Alfian kuat.
"Untuk apa kau menangis? Tidak ada hal pantas membuatmu sedih, seharusnya kau bahagia. Aku melepaskan kewajibanmu baik dari permintaan Nila dan janjimu pada Adrian. Kejarlah, apa yang kau inginkan."
"Apa yang kuinginkan?" tanya Lisana parau. Dia akhirnya melepaskan pelukannya. "Bagaimana kalau itu senyumanmu?"
"Senyumanku?" Alfian tertegun. "Jangan bercanda! Cukup semua omong kosongmu, pergilah!" Alfian menggerakan kursi rodanya menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rusaknya Pernikahan
ChickLit"Tak perlu segunung emas atau sebuah rumah mewah untuk membuatku bahagia. Hanya mendapat satu senyuman dari suamiku saja sudah cukup. Tapi apa yang kuharapkan tidak pernah kudapatkan. Hanya satu senyuman saja darinya untukku adalah mustahil, ibarat...