Hukuman 02 🗻

125 14 2
                                    

Malam ini terlalu tenang tidak seperti pagi tadi. Penuh kegaduhan, walaupun aku yang membuat gaduh, ya tapi begitulah.

Langit memang selalu menenangkan, apalagi kalau langit malam. Andai namaku langit, sepertinya aku juga akan menenangkan.

Yah memang hari-hariku selalu seperti ini, penuh hukuman, penuh kejutan, dan penuh keringat. Keringat karena hukuman.

Kenapa Ibu tidak memanggilku untuk turun? ini seharusnya sudah jam makan malam. Baiklah sesuai dengan omonganku tentang penuh kejutan, hari ini akan aku berikan kepada Ibu. Kejutan kalau aku turun duluan sebelum dia memanggilku. Aku rasa itu adalah salah satu pertanda kalau aku anak rajin, mengerjakan sesuatu tanpa disuruh.

Tapi sayang kalau aku tinggal, langit malam masih membuatku kecanduan untuk menatapnya. Semoga aku tidak sakaw nantinya.

Nanti saja aku turunnya, bintangnya masih cantik. Aku turun kalau bintangnya sudah jelek saja.

"Angkasa!"

Ah itu suara Ibuku.

"Angkasa!"

Itu juga masih suara Ibuku.

"Angkasa!"

Baiklah ini sudah yang ketiga kalinya, sepertinya dia akan menghampiriku sebentar lagi.

"Ang-"
Oke, ini saatnya aku membuka pintu kamarku.

"Eh Ibuku sayang, ada apa gerangan?"
Tanyaku dengan canda, agar dia tidak marah karena sudah memanggilku tiga kali.

Padahal aku berharap akan dipanggil empat kali.

"Ayo turun, sudah saatnya makan malam".

"Angkasa nyusul, Ibu duluan saja".

"Haish, aku gagal menjadi anak rajin malam ini, akan aku coba di malam lain" Ucapku dalam hati dengan penuh hati-hati.

Agar tidak didengar Ibu, karena Ibuku selalu ada di hatiku.

Samudra sudah berada di kursinya ternyata. Agar tidak tertukar, aku mengisi nama kami di kursi masing-masing.

Malam ini Ibu memasak lauk yang berbeda, hanya nasi saja yang sama dengan kemarin-kemarin.

Yang Ibu masak malam ini ada nasi, ayam yang sudah mati, sayur berwarna hijau entah apa namanya, tempe yang di goreng, dan makanan favoritku, udang goreng.

Secepat kilat aku berusaha menghabiskan makananku, agar tidak tersalip lagi oleh Samudra. Cukup ranking saja yang dia menangi, dalam hal makan aku juaranya.

Jimmy juga melaksanakan makan malam, tapi tidak bersama kami di meja makan. Dia punya piringnya sendiri, warnanya piringnya lucu, warna hitam berisi gambar tulang.

Kalau makan dengan kami aku takut lauknya tertukar denganku.

Setelah makan, aku meminum air yang sudah disediakan Ibu. Meski hanya berwarna putih, tapi rasanya manis. Apa susu memang semanis ini?.

Yang lain masih asyik dengan makanannya sendiri. Aku merasa kesepian sekarang. Aku memilih untuk duluan pergi dari dapur, menuju kamarku.

"Ibuku sayang, Angkasa naik duluan ya"

"Iya, hati-hati"

Segera aku berjalan cepat menuju kamarku, tapi di perjalanan sepertinya ada yang terlupa. Aku kembali ke dapur, dan melihat mereka masih disana. Tidak termasuk Jimmy tapinya.

"Kenapa?" Tanya Ibu dan Samudra bersamaan

"Ada yang kelupaan" jawabku sendirian

"Apa?" kali ini hanya Ibu yang menjawab

"Aku ke kamar duluan ya kak" Ucapku

"Hmm" balas Samudra tidak peduli

"Udah?" Tanya Ibuku lagi

"Sudah" jawabku singkat

Melegakan rasanya, sudah tidak ada yang tertinggal lagi. Walau dia hanya membalas "hmm" tapi aku cukup senang, sudah mengingat apa yang tadi aku lupakan.

Setelah di kamar, kini aku bingung, termenung, linglung, dan tersandung. Aku tidak memperhatikan ada meja di depanku tadi.

Aku buka jendela kamarku lagi, aku melihat langit dengan jelas. Aku merasakan ketenangan dari bisingnya kota.

Kembali aku evaluasi dari kejadian-kejadian pagi tadi. Entah kenapa, tawa perempuan tak dikenal itu masih teringat jelas di kepalaku. Padahal semua pelajaran tadi pagi tidak ada satupun yang aku ingat.

Aku penasaran dengan namanya. Karena tawanya cantik aku sebut saja namanya cantik. Kalau aku bertemu dengannya lagi, akan aku sapa dia dengan sebutan "cantik" aku harap namanya juga cantik. Tapi semoga namanya tidak sama dengan Ibuku "Cantika".

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang