Rapunzel's Castle

4.7K 466 27
                                    

Lee Jihoon tidak tahu mengapa seorang pangeran tunggal seperti dirinya harus dikurung di dalam istana sejak lahir. Ia hanya bisa memandang iri teman-teman sebayanya yang bebas bermain di luar istana, merasakan suasana pasar dan rumah-rumah rakyat, segarnya udara di sawah dan memetik buah beri di tepi hutan.

Mereka— yang rata-rata anak menteri dan sepupu keluarga raja— sering bercerita suasana di luar sana saat bermain bersama Jihoon, membuatnya iri sekaligus dilema. Di satu sisi ia ingin sekali memuaskan rasa penasarannya, namun di sisi lain ia ingin menuruti kehendak raja sekaligus ayah kandungnya.

"Kenapa pangeran berwajah murung?" sapa Choi Seungcheol, pengawal pribadinya.

Pangeran Lee mendengus kesal. Bagaimanapun ia mencurahkan alasan kemurungannya, tidak akan ada yang berubah. Ia hanya bisa menghabiskan waktu di belakang jendela, menyandarkan dagunya di atas lipatan tangannya sambil memandang betapa ramainya jalanan di luar istana.

"Sebaiknya hamba harus bilang pada raja agar beliau memindahkan kamar ke tengah istana agar pangeran tidak perlu—"

"Jangan," seru Jihoon segera menoleh sambil memberikan gestur penolakan.

Seungcheol yang sudah biasa menghadapinya hanya tersenyum. Ada sedikit perasaan gemas namun akan sangat lancang bila mencubit pipi pangeran. Jadi ia harus terbiasa juga menahannya.

"Aku ini pangeran, kelak akan menjadi raja dan harus memimpin kerajaan. Kenapa aku bahkan tidak diperbolehkan untuk melihat situasi di luar sana?" protes Jihoon untuk ke sekian kalinya dalam hidupnya.

Kali ini dengan alasan yang lebih logis mengingat usianya yang hampir menginjak 17 tahun.

"Raja pasti punya alasan," balas Seungcheol, sama untuk setiap protesnya sejak dulu.

"Aku ingin kabur," gumam Jihoon kembali melongok keluar jendela.

"Dan hamba tidak akan membiarkan pangeran melakukannya."

"Dan aku..."

Jihoon berhenti sejenak sementara kedua maniknya masih memperhatikan penjual buah yang menarik gerobaknya menyusuri jalan.

"...aku tidak jadi kabur," cicitnya.

Walaupun Jihoon belum pernah keluar istana, ia sudah cukup tahu track record pengawal pribadinya itu. Mulai dari menjadi pemimpin barisan terdepan dalam perang sampai mengalahkan naga pun pernah Seungcheol lakukan.

Jihoon mencuri pandang kepada pengawalnya itu.

Hebatnya, dia masih hidup dan mampu tersenyum di hadapannya.

"Sepertinya lenganku akan langsung patah begitu kau menariknya," ngeri Jihoon.

Seungcheol menundukkan kepalanya sejenak untuk menahan tawanya, "Hamba tidak semenyeramkan itu."

Sekali lagi Jihoon menghela nafasnya, meratapi nasib menyedihkannya.

"Sampai kapan?" gumamnya lagi kembali memperhatikan situasi dunia luar di siang hari.

"Entahlah, hamba hanya menjalankan perintah ayah pangeran," balas Seungcheol, tidak terdengar mengenakkan di telinga Jihoon.

"Sebentar lagi aku akan berusia 17 tahun namun memegang pedang saja mungkin tangan ini masih gemetaran," keluh Jihoon lagi.

Namun ia terdiam sejenak setelah keluhan itu, menyadari sebuah fakta yang bisa menjadi celahnya keluar istana.

"Itu dia!" Jihoon berbalik dan memasang ekspresi bahagia ke arah Seungcheol. Pengawal pribadinya itu jadi bingung sendiri.

"Aku bisa membujuk ayah agar mengizinkanku keluar di hari ulang tahunku," cetusnya.

Seungcheol terbelalak, berpikir bagaimana bila ide itu sampai ke telinga sang raja.

.

.

.

A Man with Red Hair
Rapunzel's Castle

.

.

.

"Tidak, anakku."

Sudah Seungcheol duga, raja pasti menolaknya mentah-mentah. Pangeran Lee hanya bisa terdiam di tempat sambil meremas kedua tangan di belakang tubuhnya, takut bila ayahnya akan mengamuk. Ratu berusaha menenangkan sang raja dengan mengelus-elus pundaknya.

"Aku tidak sanggup membuat keputusan. Kau saja, Yoonji-ah," putus sang raja kemudian beranjak dari tahtanya dan berjalan melewati Pangeran Lee. Seungcheol membungkuk hormat di tempatnya sebagai seorang bawahan.

Baginda ratu menghela nafasnya sejenak sebelum memandang putra semata wayangnya itu.

"Kau sudah hampir 17 tahun," ujar sang ratu dengan nada lembut sambil berjalan turun dari kursinya dan menghampiri Jihoon.

Ibunya itu mengelus pipinya lembut sementara Jihoon sendiri sedang mengigit bibir karena gugup.

"Berhenti mengigiti bibirmu, nanti luka," ujarnya khawatir sambil membenarkan perilaku anaknya itu.

"Kita bicara di taman. Ibu akan memberitahukan sesuatu padamu."

Sesuatu apa? Itu yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Jihoon.

"Jihoon-ah," panggil sang ratu, menyadarkannya dari lamunan sesaat.

"Ibu ingin kau mengingat ini baik-baik," lanjutnya dibalas anggukan pelan oleh anaknya.

Ratu menarik nafas dalam-dalam, mempersiapkan batinnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat berikutnya.

"Kami akan mengizinkanmu keluar istana pada hari ulang tahunmu. Akan ada pesta besar dan kau boleh pergi ke manapun area kerajaan ini."

Kedua mata Jihoon berbinar-binar. Perkataan ibunya ini merupakan sebuah hal yang ia nantikan seumur hidupnya, kebebasan.

"Tapi dengan dua syarat," potong ibunya, menyela ekspresi kebahagiannya.

"Apa itu, ibu?" tanya Jihoon.

Tatapan sang ratu berubah tajam, menyiratkan bahwa ia sedang benar-benar serius sekarang.

"Kau harus berada dalam pengawasan Seungcheol, juga—"

Sang ratu terdiam sejenak, mengatur kata-kata di benaknya.

"Jangan bicara pada orang asing! Mengerti?"

Jihoon mengangguk sebagai balasannya, menyanggupi semua syarat yang diajukan ibunya.

"Aku akan mengingatnya."

.

.

.

To be continued

Pitik's back with new fan fiction!

Yak, maap Chicken Prince-nya di-unpub hehe...

Sebagai gantinya, Pitik mau mencurahkan plot yang sudah tercetus sejak Desember lalu, saat Pitik mendekam di ranjang rumah sakit selama seminggu penuh :")

Ya, ini.

Btw, bikin kingdom au, jadi inget male queen-nya izi ._.

A Man with Red Hair | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang