Bau tanah sehabis hujan yang terkenal akan aromanya yang menenangkan tidak bisa mengurangi kebencian teramat sangat yang ada di hatiku. Bagaimana tidak? Pagi ini aku melihat kaum kami, kaum pribumi, diseret dan dibunuh oleh kompeni-kompeni biadab itu dengan sangat tidak manusiawi. Yang lebih parah lagi, aku hanya dapat melihatnya dari belakang kerumunan orang, dilarang untuk melakukan apapun oleh bapakku.
"Mbak Dita..." panggil adikku, Dimas. Dia juga terguncang sepertiku, karena dia berdiri disampingku saat kejadian itu. Mungkin bahkan lebih parah, mengingat umurnya masih enam tahun.
"Sini Dimas, Mbak peluk," panggilku. Dimas merentangkan tangannya, meminta untuk dipeluk.
"Dimas, yang tadi tidak usah dipikirkan ya, sekarang dia sudah tenang disana..." aku menunjuk ke langit di luar jendela.
"Iya Mbak, Dimas sudah mendoakan dia," jawabnya sambil sedikit terisak. Aku menepuk-nepuk punggungnya. Sungguh, adik semata wayangku ini dapat bersikap lebih dewasa daripada anak-anak seumurannya. Dia bahkan lebih pintar dariku, jika aku boleh jujur, karena dia mendapat pendidikan yang bagus dan diperbolehkan bersekolah, tidak sepertiku yang hanya diajarkan untuk melayani laki-laki.
Ramaku adalah seorang bupati yang menjadi harapan di provinsi kami, karena kabupaten kami adalah kabupaten terakhir di provinsi yang masih kuat melawan kompeni-kompeni gila itu. Kemana pidato-pidato penyemangatnya yang membuat kami masih kuat melawan penjajah? Yang kulihat hanyalah seorang pria menyedihkan yang duduk termenung di balik meja kerja besarnya yang pasti mahal itu. Kayu jati terbaik dari Cepu, begitu katanya. Dengan marah aku berlari menuju kamarku dan membanting pintunya di belakangku. Bapak! Mengapa bapak diam saja??? Bapak melihat semuanya bukan?! Runtukku dalam hati.
"Tok, tok, tok,"
"Permisi nona, ini Ndari," terdengar suara lembut milik Sundari, pengasuhku sejak aku bayi.
"Masuk," jawabku dingin. Aku sedang tidak ingin beramah tamah.
"Nona, Tuan Atmaja ingin bertemu dengan nona," katanya dengan lembut, tidak menghiraukan tatapan tajam yang dihujamkan padanya dariku.
"Mbak Ndari, aku sedang tidak ingin bertemu dengan bapakku, kau tahu kan?"
"Ndari mengerti nona, tetapi ini tentang para kompeni itu..." kuperhatikan bulir keringat pertama yang jatuh dari pipinya yang mulus tanpa kerutan. Kondisi keluarganya yang miskin mengharuskan dia pergi meninggalkan mereka untuk datang mengabdi kepada keluargaku di usianya yang masih belia. Setidaknya berkat kesetiaannya kepada kami, ia sanggup memberikan singkong untuk makanan sehari-hari keluarganya. Tak bisa kupungkiri, kecantikan asli Jawa tetap terpancar dari balik baju lusuhnya.
"Hufft, baiklah. Katakan pada ayahku aku akan menemuinya sebentar lagi," kataku pada akhirnya.
"Emm... sebaiknya yang cepat nona. Sepertinya Ndari melihat beberapa kompeni itu sedang berbicara dengan Tuan Atmaja."
Apa?! Ada apa ini??!!!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)