gugup

222 36 3
                                    

Setelah menerima coklat dan permintaan maaf itu, mereka berdua mulai terlihat dekat lagi. Seperti Woojin saat ini, ia sedang menghampiri Jieun yang tak sengaja dilihatnya dari pintu gerbang.

Jieun memulai paginya dengan beban lagi, dan lagi. Kiranya, keluarganya sudah tidak dalam masalah. Karena memang, beberapa hari terakhir yang lalu orang tuanya sudah tidak bertengkar lagi. Namun, nyatanya sama. Seperti kejadian tadi pagi dirumahnya, Papa dan Mamanya mulai cekcok lagi.

Sebenarnya Jieun sudah terbiasa, tapi jika terus menerus itu juga tidak baik. Sudah bertahun-tahun keluarganya hidup didalam pertengkaran, hidup dalam puing-puing keretakan, hidup dengan kebelengguan yang tak pernah usai.

Percayalah, jika kalian melihat Jieun kuat, itu tidak benar. Jieun hanya gadis lemah pada umumnya, hanya saja masalah yang ia hadapi memaksakan untuk berpura-pura kuat. Dibalik itu semua, Jieun hanyalah gadis yang selalu menangis ketika malam tiba. Selalu meluapkan kesedihannya ketika ia sendirian.

Jieun sempat berfikir, diumurnya yang masih dikatakan remaja itu, mengapa sudah dikaitkan dengan masalah keluarganya yang tak ada hentinya. Memang benar, masih banyak orang-orang diluar sana yang masalahnya lebih berat dari Jieun, tapi Jieun juga tidak kuat jika setiap hari mulai dipenuhi keretakan keluarganya.

Karena ini keluarganya, seluruh dari hidupnya, dari jiwanya. Yang membesarkan Jieun dengan rasa cinta yang tak pernah luntur.

Karena ini keluarganya, yang mempunyai poin paling penting di hidup nya, dan yang pasti keluarga adalah satu-satunya tempat untuk menaruh keluh kesah mereka masing-masing. Tapi, Jieun tidak punya tempat itu dikeluarganya.

TIDAK PUNYA.

Woojin berdehem membuat Jieun terlonjak kecil. Jieun jadi canggung karena sudah lama tidak bersama Woojin. Akhirnya, ia hanya bisa tersenyum saja tanpa membuka percakapan.

Woojin pun merasakan hal yang sama, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Jadi kikuk sendiri.

"Eh, Rubin!" pekik Jieun.

Entah mengapa ia tiba-tiba menyapa Rubin didepannya itu, setidaknya ia bisa menenangkan hatinya yang sedari tadi gugup. Dan, mengalihkannya pada Rubin.

Sudah dari beberapa hari yang lalu Jieun dan Rubin menjadi akrab, selain memang kenal, Jieun dan Rubin mempunyai kegiatan ekskul yang sama. Hanbin lah yang membuat Jieun semakin akrab dengan Rubin.

Sontak Rubin menoleh,

"Oh, Jieun. Eh, ada Woojin," ucap Rubin.

"Oh iya, kalian sekelas kan? Gih bareng, gue duluan aja ya,"

Jieun semakin tak mengerti pada dirinya, ia melontarkan kata-kata itu karena merasa tidak nyaman berada didekat Woojin. Hatinya mulai berdetak cepat lagi,

"Gak mau, dikira homo gue ntar. Mending sama lo aja Ji," jawab Woojin menahan pergelangan tangan Jieun yang hendak pergi.

"Hahaha, modus lo," ujar Rubin yang membuat Jieun semakin gugup.

Lalu Rubin berjalan meninggalkan keduanya,

"Loh?" seru Jieun bingung.

"Kenapa? Kok kaya ngehindar dari gue Ji?"

Jantung Jieun semakin berdebar kencang, ia merasakan keringat kecil menetes dipelipisnya.

"H-hm... Nggak kok," jawab Jieun sembari memberi senyuman lebar. Membuat lengkungan dibibir Woojin.

"Woojin?"

"Hm?"

"Tangannya," Jieun menunjuk tangan Woojin yang masih menggenggam pergelangan Jieun.

Woojin melihat arah tunjukan Jieun, bukannya membalas perkataan atau melepas pergelangan Jieun, ia malah berpindah pada jemari Jieun dan mulai menautkan jemarinya pada jemari Jieun.
"Gak papa, kaya gini aja ya,"

Jieun mengerjapkan matanya masih melihat pada tautan jemari itu. Pasti saat ini pipinya sudah merah sekali.

Mau teriak bahagia tapi keburu salting duluan HUAAAAAAAAA.

Mungkin, menunduk adalah hal yang tepat untuk menyembunyikan pipinya yang sudah merah karena salting. Ya, Jieun hanya bisa melakukan itu.

Sampai akhirnya Woojin mengangkat dagu Jieun, membuat Jieun membulatkan matanya. Semoga saja merah dipipinya sudah hilang. Namun nyatanya, ia semakin gugup, sudah pasti membuat pipinyaa bertambah merah dan salting.

"Kok... Merah?"

Jieun langsung melepaskan tangannya dari jemari Woojin, lalu menutupi pipinya dengan tangannya sendiri.

"Ng? Duluan ya,"

"Loh, Ji-?" Woojin mengernyit,

Jieun langsung lari menjauhi Woojin, ia tak ingin memalukan dirinya sendiri.Tepatnya, salting dihadapan Woojin.

"Nanti pulang bareng gue ya!" pekiknya.

Jieun tak memperdulikan perkataan Woojin, ia tetap berlari kencang menuju kelasnya sendiri.

Napas Jieun terengah-engah karena berlari terlalu kencang, untungnya ia sudah tepat didepan kelasnya.

Heal Me | Park WoojinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang