5 | Talk

997 179 10
                                    

"Kenapa bapak manggil saya?"

Willis sedikit mengangkat padangannya dari layar laptop. Tatapannya yang selalu datar menghujam lurus kepada sosok perempuan yang duduk santai di hadapannya itu.

"Kamu tau sopan santun?"

"Sorry?"

"Keluar. Ketuk pintu baru masuk." Kata suara itu dingin.

Secil merapatkan bibirnya. Ia menggeram kesal dalam hati. Baiklah, sikap Secil memang salah tapi bisa kali Pak Willis ini gak pasang ekspresi seperti itu. Rasanya Secil muak setegah mati.

Secil berdiri sambil mendengus. Ia kembali ke arah pintu dan setelah mengetuk beberapa kali, Secil masuk dan langsung duduk di kursi.

"Keluar."

"Apa lagi!?" Bentaknya kasar.

"Saya belum kasih ijin kamu masuk." Willis berucap santai tanpa menatap Secil. Ia masih sibuk sama laptopnya.

Kedua tangan Secil terkepal erat. Mata cewek manis itu sudah dipenuhi oleh kemarahan namun ia tetap memilih untuk menahannya. Untung saja pria ini dosennya. Jika bukan mungkin sudah Secil sleding. Macam si Bobby anak teknik sipil yang dulu pernah colek-colek dia sembarangan.

Secil melampiaskan amarahnya dengan sengaja mengetuk pintu itu keras-keras atau jika diijinkan ia ingin menendangnya saja sekalian.

"Masuk." Sahut Willis.

Secil berjalan dan langsung menjatuhkan dirinya duduk di kursi. Bibirnya terkunci rapat dengan wajah yang terlihat jelas sedang menahan kesal. Tiba-tiba di hadapannya tergeletak sebuah map batik.

"Ini apa?" Tanyanya bingung.

"Pakai mata kamu."

Astaga, pisau mana pisau!? Kenapa bisa ada manusia yang modelnya macam ini. Secil mengumpat kasar dalam hati seraya membuka kasar map ditangannya.

Ternyata isinya adalah daftar nilai mata kuliah ekonomi makro semester ini. Secil menganga melihat daftar nilai miliknya yang bertebaran dengan huruf D bahkan ada juga huruf E untuk nilai UTS yang semalam. Belum lagi absen kehadirannya hanya ada 4 kali dari sekian banyak pertemuan. Jika begini ceritanya sudah tentu ia akan mengulang lagi disemester depan.

Anjing. Tai. Bangsat.

"Kamu itu niat kuliah atau tidak?" Tanya suara itu datar.

Secil yang tersinggung langsung nyeletuk. "Kalau saya tidak niat kuliah menurut bapak saya ngapain masih turun ke kampus ini!? Mending saya tidur lah di rumah!"

Kemudian Willis mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Sambil menatap sang lawan bicara, pria itu menopang sisi wajahnya. "Saya bertemu banyak mahasiswi yang seperti kamu. Kuliah seadanya dan mendapatkan nilai dengan modal tampang. Mungkin kamu bisa merayu dosen lain untuk mendapatkan nilai tapi tidak dengan saya."

"Saya tidak seperti itu!!!" Secil menggebrak keras meja di hadapannya. Kemarahannya langsung meluap.

"Bagus jika kamu tidak melakukannya." Willis menyahut ringan.

Secil mengepalkan tangannya kuat. Kemarahannya belum sama sekali reda. "Saya tidak pernah merayu dosen seperti yang anda tuduhkan. Mungkin otak saya emang pas-pasan tapi saya tidak pernah mikir pakai cara menjijikan seperti itu. Jadi anda jangan asal bicara!!!"

Secil sudah tidak perduli pada tata krama. Ia bahkan tidak perduli jika ia sedang berbicara dengan salah satu dosen paling disegani. Perkataan orang ini sudah membuatnya benar-benar tersinggung.

Willis membawa punggungnya bersandar nyaman pada kursi dengan mata yang tak lepas mengamati Secil sejak tadi. "Kamu rupanya tidak hanya miskin otak tapi juga miskin etika. Kamu jelas sudah terlalu dimanjakan sehingga berani bersikap seperti itu kepada orang yang lebih tua."

Rongga dada Secil terasa panas seperti terbakar. Perkataan itu terlampau benar dan salahnya diucapkan oleh orang yang tidak tepat. Secil sering mendengar abang atau sahabatnya berkata seperti itu namun Secil tidak pernah tersinggung karena melawan dan memberontak adalah sifat alaminya.

Tapi tidak dengan orang yang ada di hadapannya ini. Secil marah, tersinggung dan juga merasa... sedih...?

"Dan saya dengar ayah kamu juga sudah meninggal."

Secil langsung mengangkat wajahnya dengan mata merah berair. "Lalu kenapa? Anda ingin mengejek saya?" Sindirnya tajam.

Sudut bibir Willis terangkat samar. "Kenapa saya harus melakukan itu? Mindset kamu masih sangat kekanakan. Dari tadi tujuan saya bicara hanya untuk membuka jalan pikiran kamu. Seharusnya kamu belajar lebih baik dari kejadian itu dan bukannya bertingkah semakin buruk."

Secil tertohok. Bayangan ketika ia selalu melawan dan memberontak kepada ibunya terngiang. Secil tidak pernah menurut perkataan ibunya bahkan ia selalu bertingkah seenaknya dan ia selalu menganggap dirinya lah yang paling benar.

Apa itu terjadi karena ia tidak pernah merasakan yang namanya didikan dari seorang ayah? Sebab yang Secil tau ia selalu dimanjakan oleh mama dan abangnya.

Tatapan Secil langsung berubah kosong namun jelas ada kesedihan yang besar tersimpan di wajah manis itu. "Ayah sudah saya meninggal sebelum saya dilahirkan."

Kemana perginya sosok pemberontak itu?


Willis terdiam. Kali ini ia bisa melihat sisi lain dari perempuan yang baru beberapa menit diajaknya berbincang itu.

Satu-satunya anak didik yang berani memberontak, menyahut perkataannya dan sekaligus yang paling menghiraukannya.

Selama ia mengajar di kampus ini, seluruh anak didiknya terlihat patuh dan antusias tapi tidak dengan perempuan yang satu ini. Willis sudah mengamatinya sejak lama.

Awalnya Willis mengira jika perempuan ini sengaja bertindak demikian untuk menarik perhatiannya seperti yang dilakukan oleh banyak mahasiswinya yang lain namun ternyata ia salah. Perempuan ini memang murni mengabaikan mata kuliahnya dan juga dirinya.

Berarti sudah waktunya ia harus membimbing anak ini bukan? Karena itu juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawabnya sebagai pengajar jika ia tidak ingin dianggap gagal.

"Kamu tidak sendirian. Ada banyak orang yang kehilangan ayah di dunia ini bahkan kehilangan kedua orang tuanya sekaligus tapi bisa hidup lebih baik. Jadi lah satu diantara mereka."

Secil tidak tahu alasannya mengapa suara yang tadinya selalu melemparkan kalimat-kalimat tajam itu kali ini malah menghangatkan hatinya. Tapi sekali lagi, bukan Secil namanya jika tidak kokoh pada pendiriannya sendiri.

"Ubah sifat malas dan keras kepala kamu."

"Kalau saya ingat." Secil mengangkat kedua bahunya ringan dan tanpa permisi ia beranjak keluar dari ruangan tersebut.

Secil bersumpah ini adalah yang terakhir ia menginjakkan kakinya di tempat terkutuk itu.

To Be Continue.






You Complete Me ; Sehun, SejeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang