Cukup hadirnya saja yang diam-diam. Kalau pergi, bilang-bilang.
👑
Ketika lukanya sudah ditutup plester dan seragamnya tidak lagi berantakan, barulah Elata membuka pintu rumah dan mengucapkan salam.
"Sudah pulang, sayang? Pas banget Mama baru selesai bikin tahu kukus kesukaan kamu. Mandi ya, terus makan. Jam berapa lesnya hari ini?"
Elata mencium pipi Mamanya, Marina. "Iya, Ma. Aku les jam 5. Papa bisa jemput nanti pulangnya?"
Meletakkan piring terakhir di meja makan, Marina menatapnya. "Bisa, kok. Tadi Papa udah nelpon. Biar sekalian mau ngambil sepeda kamu. Kamu masih mau naik sepeda?"
Elata mengangguk yakin sebelum menuang air putih untuknya.
"Kenapa nggak dijemput sama supir aja, sih. Biar Mama lebih tenang. Apalagi kamu les sampai malem."
Sepertinya cukup dengan mematuhi keinginan orang tuanya untuk mengambil les penuh selama ini tanpa perlu meributkan kendaraannya. "Naik sepeda kan seru, bisa bareng sama temen. Lagian aku juga nggak pernah telat pulang. Kalo misalnya hujan, aku juga sering nelpon minta dijemput. Jadi nggak pa-pa dong, ya."
"Tetep aja," Marina berbalik menuju wastafel. "Pokoknya kalo sepeda kamu rusak lagi, nggak usah dibenerin. Biar ke mana-mana dijemput atau Mama yang nganter."
Elata terdiam menatap punggung Mamanya. "Ma," tanpa sadar tangannya mencengkram gelas terlalu kuat. "Aku bukan Kak Erika."
Marina menegang dan Elata mengetahuinya terlalu jelas. Gerakan tangannya mengaduk apapun itu di panci terdiam dan Elata menyesali kalimatnya.
"Mama tahu," Mamanya melanjutkan mmebuka kulkas dan menyelesaikan masakannya. "Cepet mandi. Jangan sampai telat les."
Elata kemudian naik ke kamarnya di lantai dua dan membersihkan diri. Ketika mengeringkan rambut di depan cermin, wajahnya berubah sedih karena menemukan lehernya yang kosong tanpa kalung.
Itu hanya sebuah kalung perak pemberian Neneknya. Berbandul kecil berbentuk piano. Ketika menerima itu sebagai hadiah ulang tahun ketujuhnya, Elata seperti memiliki sebuah harapan.
Elata membiarkan handuk menggantung di kepala ketika tangannya menyentuh pinggiran meja belajarnya. Telunjuknya terangkat, diikut dengan jarinya yang lain. Mengetuk tanpa suara, merambat seperti memainkan piano dengan lagu kesukaannya.
Ia mulai membayangkan dentingan nada piano yang tergambar jelas di dalam kepala. Matanya tertutup, bibirnya tersenyum menikmati khayalan saat pintu kamarnya terbuka.
"Elata, kamu udah siap?"
Elata berbalik sembari menurunkan handuk di kepala. "Tinggal ganti baju, Ma."
"Cepet, ya. Kamu berangkatnya bareng Mama."
Setelah pintu tertutup, Elata menghela napas ketika matanya tertumbuk pada pas photo di atas meja belajar. Berisi foto Elata yang memakai seragam biru, dan perempuan satunya memakai seragam SMA. Wajah mereka terlihat serupa dengan kecantikan yang sama.
Handuk yang tadi ia gunakan mengeringkan rambut kini disapukannya ke wajah karena matanya yang tiba-tiba basah. Sudah terlambat untuknya bersikap lemah.
Jarak antara rumah Elata dan tempat lesnya lumayan jauh. Hal yang tidak menjadi persoalan dikarenakan orang tuanya sangat memperhatikan kualitas tempat les sehingga berani membayar mahal untuk beberapa jam yang dihadirinya dalam seminggu. Meski Elata harus menyebrangi lautan sekalipun itu tidak akan jadi masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Escape [Completed]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU] Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Seolah itu belum cukup berdosa, Elata mempertaruhkan namanya akan dicoret dari daftar kelua...