[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Seolah itu belum cukup berdosa, Elata mempertaruhkan namanya akan dicoret dari daftar kelua...
Sebut saja dia pemilik waktuku. Dalam hari yang terlewati, ada ribuan kali namanya berbunyi. Berdentang, sulit diabaikan. Atau, sebut dia duniaku. Karena dalam setiap waktu, hanya ada namanya di relung hatiku.
👑
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tuan. Muda. Noah.
Tidak, Elata tidak mungkin salah dengar. Buktinya ia mematung. Tak bergeming. Para penjaga yang menangkap mereka tadi seperti mempertanyakan hal serupa.
"Maaf, Tuan Muda." Kata kepala penjaga tertahan. "Mereka orang baru." Lanjutnya menjelaskan penangkapan.
Perlahan, wajah tenang yang dipasang Noah sejak tadi berubah menjadi sunggingan senyum yang lama-lama semakin lebar hingga membentuk tawa lembut.
"Lama nggak ketemu, Pak Jodi." Noah menepuk akrab bahu laki-laki itu. Ketika Pak Jodi menegakkan tubuh, sepasang mata keriput itu sudah berkaca sedih.
"Apa kabarnya?" tanya Noah untuk Pak Jodi sembari melepaskan cengkraman tangan Elata dan menggantinya dengan sebuah genggaman.
"Saya sangat baik," Pak Jodi mengembalikan sikap profesionalnya. "Nyonya pasti senang melihat kedatangan, Tuan Muda."
Para penjaga yang tidak bisa Elata hitung ada berapa jumlahnya kemudian membukakan jalan menuju pintu megah berukiran bunga besar.
Jika tadi di luar sekumpulan orang bersetelan jas, maka di bagian dalam rumah berlusin wanita mengenakan seragam putih dan rok hitamlah yang menyambut mereka. Berdiri rapi di sepanjang selasar lebar dan memperagakan hormat yang sama.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semuanya membungkuk, hingga salah satu wanita yang lebih tua dari yang lain mendekat.
Seperti Pak Jodi, wanita itu menghampiri Noah dengan mata berkaca-kaca. Seolah lama tidak berjumpa. Bahkan Elata melihat ada air mata yang lolos di sudut matanya.
"Apa kabar, Bu Ratna?" Noah kali ini melepaskan genggaman mereka sesaat, untuk mencium punggung tangan wanita yang rambutnya sudah memutih itu.
Bu Ratna mengusahakan segurat senyum di tengah usahanya mempertahankan wibawa untuk tidak menangis. Noah tidak sungkan memeluk wanita itu. Yang menambah haru Bu Ratna. Ia kemudian menawarkan berbagai jamuan makanan yang ditolak Noah dengan sopan.