Kegilaan terbesarku hanya satu kata, yang mengandung namamu di dalamnya.
👑
Setelah mengendap turun ke bawah untuk mengambil kotak P3K dan sogokan uang buat beli koutanya Bi Raisan, Elata menggelung lengan bajunya lalu berlutut di sisi Noah.
Ujung bibir Noah robek, sebelah kantung matanya membiru bahkan bengkak. Begitu pula dengan ujung alis yang mengeluarkan darah dengan luka terbuka. Semua luka itu memberikan kesan, cowok ini jelas baru saja dipukuli.
Dibersihkannya bekas luka yang sudah bercampur tanah itu dengan air hangat terlebih dulu. Setelahnya, ia mengambil kapas tebal dengan alkohol. "Misi..." bisiknya lalu menempelkan kapas itu di luka Noah.
Noah mengernyit walau matanya masih tertutup. Elata beralih mengambil obat merah dan mengulangi prosesnya di bagian dahi dan luka lainnya.
Elata kira karena proses pengobatan itulah yang membuat Noah terus mengernyit menahan sakit. Namun saat ia mengangkat tangan Noah yang terus saja menekan perut, ia pun menyingkap sedikit t-shirt hitam cowok itu, ternyata ada memar besar yang membiru di sana.
"Astaga," Elata segera mengompres lebam itu dengan es dibungkus kain. Ditekannya pelan ke perut Noah. Berharap itu cukup membantu. Sesaat setelahnya tarikan napas cowok itu berangsur tenang.
"Lo mau minum obat nyeri, nggak?" Tawarnya, entah Noah mendengar atau tidak. "Gue jejelin ke mulut lo boleh?" Tidak ada jawaban walau ekspresi kesakitan Noah terlihat. Mungkin Elata akan menunggu cowok itu sadar saja.
Semua luka di wajah Noah sudah tertutup perban dan plester luka. Elata membereskan kotak obat dan juga baskom air ke bawah meja. Ia mengambil selimut di lemari lalu menyelimuti tubuh Noah. Tidak lupa juga melepaskan sepatu cowok itu dan menepikannya ke samping pintu.
Setelah dirasa tidak ada lagi yang Noah butuhkan, Elata meluruhkan tubuhnya duduk bersandar pada meja belajar.
Diperhatikannya sosok Noah yang berbaring di atas karpet tebal berwarna coklat muda. Bahkan dengan banyaknya luka, Elata masih bisa melihat sisi polos di wajah Noah. Memang bukan cara yang tepat menilai seseorang hanya dari luarnya saja, tapi Elata seolah tidak bisa percaya jika Noah baru saja keluar dari penjara.
Bukan hanya dari tampilan luarnya, tapi bagaimana sorot mata Noah melihat ke arahnya.
Elata akhirnya mengerti kenapa ia membawa Noah ke kamarnya dengan resiko sangat besar ini. Alasan lemahnya adalah Elata tidak bisa membiarkan orang lain terluka saat ia sendiri bisa menolong. Alasan terkuatnya, karena Elata penasaran pada Noah.
Apa yang dilakukan Noah dalam waktu kurang dari 12 jam setelah keluar dari gerbang sekolah hingga berakhir babak belur seperti ini.
Sambil memikirkan apa yang akan terjadi setelah Noah bangun, Elata memeluk lututnya dengan kepala tertunduk. Rasa lelah karena mengerahkan tenaga membawa Noah tadi mengambil alih dengan cepat. Menumbuk matanya menutup perlahan.
👑👑👑
Sebuah guncangan pelan membuat Elata terjaga. Ia mengerjap dan merenggangkan tubuhnya sesaat seraya menolehkan kepala, lalu membelalak.
"Noah!" Elata langsung bangkit dari tempat tidur dan melompat menuju jendelanya yang terbuka. "Lo mau ngapain?"
Dengan susah payah, Noah memasang sepatunya. Mengikat tali dengan tangan bergetar. Tidak tahan melihat itu Elata mendekat dan membantu Noah mengikat sepatunya.
"Kenapa gue bisa di sini?" Gumam cowok itu. Jelas jika keadaannya belum pulih sempurna.
"Gue nemuin lo di pinggir jalan udah mau mati. Jadi gue bawa ke sini," Elata duduk bersila menghadap Noah. "Lo ngapain bangun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Escape [Completed]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU] Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Seolah itu belum cukup berdosa, Elata mempertaruhkan namanya akan dicoret dari daftar kelua...