Menyukaimu bukan sebuah pilihan. Itu terjadi begitu saja, yang kemudian aku putuskan untuk diperjuangkan.
👑
Erika pernah bilang bahwa Elata sering sekali mengatakan apa yang dirasakannya begitu saja. Tanpa memikirkan terlebih dulu akan akibat yang bisa saja menyakiti orang lain atau bahkan berbalik membuatnya malu.
Mungkin, contohnya seperti yang barusan. Sangat tidak tepat dalam kondisi yang juga memalukan. Elata pasti benar-benar tidak waras sampai mengungkapkan perasaannya tepat di wajah Noah.
Namun bagaikan Tuhan sedang melindunginya, ucapan pelan Elata tadi juga beriringan dengan dering ponsel Noah. Membuat perhatian cowok itu teralihkan dan menjawab panggilan.
Masih dengan memperhatikan sisi wajah Noah yang sedang bicara di telepon, Elata meremas tangannya gugup. Tidak begitu jelas apakah Noah mendengar ucapannya atau tidak. Terlebih raut wajah cowok itu tidak berubah sama sekali.
Permintaan terbesarnya pada Tuhan sekarang hanyalah berharap Noah tidak mendengar perkataannya.
Kalau seandainya iya, apa yang akan dikatakan cowok itu? Mereka tidak cukup lama berkenalan, dan Elata sudah berani memuntahkan perasaannya.
Tapi sikap Noah pun juga tidak bisa dibilang biasa, bukan? Cewek mana yang bisa tahan dengan hujanan perhatian dan ajakan berbahaya yang manis dan nakal dari cowok tampan seperti Noah.
Lebih dari itu semua, Elata merasakan bahwa Noah sangat memahaminya. Mengerti bagaimana Elata terkurung dengan semua aturan orang tuanya.
Apalagi degup jantung yang menggila setiap kali cowok itu mencubit pipinya atau menggoda dengan menjawil dagunya.
"Tenang aja, Vik. Gue di tempat yang aman. Juna nggak bakal nemuin gue..." sahut Noah pada penelpon yang Elata tebak adalah Viktor. Cowok itu menoleh ke arahnya dan mengisyaratkan untuk menunggu sebentar.
Oh, tidak.
Daripada menunggu mungkin Elata lebih baik kabur saja. Kalau sampai Noah memang mendengar ucapannya tadi, Elata bersedia menggali kuburannya sendiri setelah ini karena ditolak pada pernyataan cinta pertama dalam hidupnya.
Tanpa menunggu pembicaraan Noah di ponselnya selesai Elata beranjak berdiri. Namun ia lupa akan kotak P3K yang berada di sisi hingga kotak itu jatuh berhambur di lantai karena gerakannya yang tiba-tiba.
Elata segera berlutut memunguti isinya dengan tangan gemetar. Astaga, jantungnya tidak bisa diam dan semakin menjadi-jadi saja degupannya.
"Kenapa buru-buru banget?" tanya Noah yang masih duduk di sofa, yang juga membantunya mengumpulkan peralatan obat-obatan. "Tadi kamu ngomong apa?"
"Nggak ada!"
"Yakin?"
Elata mendongak lalu bertanya mengalihkan pembicaraan. "Tadi siapa yang nelpon?"
"Viktor," cowok itu menyerahkan perban terakhir yang jatuh di sisi kakinya. "Dia nanyain aku tidur di mana,"
Elata hendak mengambil perban itu, namun Noah cepat menariknya menjauh dari jangkauan Elata. Diganti dengan tangan berbalut perban milik Noah yang mengusap pipinya.
"Kenapa muka kamu merah?"
"Siapa? Aku?..." Elata menjauhkan wajahnya gelagapan. "Enggak!"
"Iya."
"Enggak, ih..."
Noah terkekeh. "Iya..." lalu menunjuk pipinya. "Ini,"
"Enggak, kok!" Elata lalu merebut paksa perban itu dan menjejalkannya di kotak. Namun Noah kembali meraih tangannya dengan genggaman kuat yang tidak menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Escape [Completed]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU] Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Seolah itu belum cukup berdosa, Elata mempertaruhkan namanya akan dicoret dari daftar kelua...