Kita adalah apa yang hati rasakan. Yang biasanya terabaikan, karena jika dipikirkan itu adalah kesalahan.
👑Seperti dalam adegan film yang malas ia tonton, Elata semakin menyadari jika berlari memang bukan keahliannya. Napasnya terengah hebat disetiap langkah kaki yang ia ambil secara tergesa.
Permasalahannya adalah, satu langkah lebar dari cowok yang tengah menariknya ini sama dengan dua langkah miliknya. Di mana letak keadilan kalau begitu?
"Ini... Gue... Bisa...," Pingsan maksud Elata tapi kalimatnya berhenti karena tenaganya yang terkuras banyak.
Cowok itu berbelok menuju gang kecil berdinding batu. Melangkah pasti seolah sudah hapal di mana lubang yang harus dihindari. Preman di belakang masih berteriak mengejar, sayup terdengar meminta mereka berhenti diselingi umpatan.
Semuanya bergerak amat cepat hingga Elata bisa saja terjengkang atau terguling di atas kakinya jika bukan karena genggaman kuat cowok di depannya ini yang menahannya.
Gang itu berujung pada jalan lain yang sama sepi dengan sebelumnya namun hanya ada rumput meninggi dan semak-semak berduri di sekitar mereka. Elata merasa jika 'pelarian' ini bukan menjadi lebih baik melainkan sebaliknya. Ia menoleh ke belakang, bertepatan dengan kakinya yang tersandung batu.
Elata tersungkur, dan cowok di depannya turut berhenti karena tangan mereka yang terpaut. Kaki Elata tergores aspal, mengeluarkan darah dan rasa sakit yang seharusnya ada tapi kalah oleh serangan adrenalinnya. Sial, mereka akan tertangkap!
"Bisa bangun?" cowok itu bertanya.
Elata mengangguk dan mencoba berdiri. Namun ternyata pikirannya bertindak lebih kuat daripada kemampuan fisiknya. Elata kembali terduduk dan cowok itu langsung memeganginya.
"Jangan dipaksa."
"Tapi premannya..."
Preman yang mengejar mereka sudah menyusul dan seketika menyeringai karena melihat Elata yang tidak mampu berdiri. Preman tinggi meludahkan darah dari mulutnya sambil berkacak pinggang. "Percuma kabur anak kecil. Lo bedua nggak bakal bisa lolos dari gue! Ini daerah kekuasaan gue!"
Cowok yang wanginya terhirup oleh Elata sejak mereka berlari ini lalu berdiri di depannya. Menyembunyikan Elata di punggung tegap cowok itu.
"Denger," ujar cowok itu, tanpa menoleh padanya. "Saat hitungan ketiga, lo harus lari. Ambil jalan yang tadi kita lewatin tadi."
"Terus lo gimana?"
"Gue bisa tahan mereka."
Tidak seharusnya Elata merasa khawatir karena ia bahkan tidak mengenal cowok itu. "Tapi lo sendirian, lo bisa celaka."
Cowok itu terdiam. Para preman semakin mendekat dan mereka terpaksa mundur untuk mempertahankan jarak.
"Satu," cowok itu mulai menghitung.
"Gue nggak mau!"
"Dua."
Elata tanpa sadar mencengkram ransel hitam cowok itu. Situasi genting itu memaksanya memutar otak. Ia menimbang jika memang harus melarikan diri apakah ia bisa cukup cepat berlari. Lalu bagaimana dengan cowok ini.
"Tiga...," dan preman tinggi mulai maju menyerang dengan sebuah pukulan di perut. Cowok itu terduduk. Dan Elata membelalak mundur. Menghadapi perkelahian nyata di depan matanya.
Preman pendek memegangi kepala cowok rambut abu ketika preman tinggi menendang wajah cowok itu.
Elata panik. Ia bingung harus melakukan apa. Kepalanya berputar. Ini adalah kesempatan yang tepat untuknya lari. Elata bisa menganggap hal ini tidak pernah terjadi dan melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Escape [Completed]
Novela Juvenil[SUDAH DITERBITKAN - TERSEDIA DI TOKO BUKU] Peristeria Elata berada diambang kematian karena diam-diam mengikuti les musik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Seolah itu belum cukup berdosa, Elata mempertaruhkan namanya akan dicoret dari daftar kelua...