9.1 DIA JUGA PUNYA LUKA?

2.1K 124 3
                                    

*Flasback On*

15 tahun yang lalu,

Langit mendung, matahari bersembunyi di balik awan hitam. Bunyi guntur pun mulai bersahutan. Tapi,  hujan belum juga tiba.

Sore itu di taman masih ada dua orang anak bermain ayunan. Saling menatap tapi tidak menyapa. Dan anak laki-laki itu pun mulai meneteskan air mata.

"Sean kau baik-baik saja?" tanya Laura.

Sean menyeka air matanya. Tiba-tiba dia mengingat perkataan Ayahnya bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis.

"Sean kau baik-baik saja? Kenapa kau menangis?" tanya Laura lagi.

"Berisik," jawab Sean singkat.

"Apa Kakakmu memukulmu lagi, kalian bertengkar?"

Sean menundukkan kepalanya. Dia menggigit bibir bawahnya kesal. "Kau kan tahu dia selalu begitu jika aku bilang ingin ikut dengannya dan tinggal bersama Ibu!" gerutu Sean.

"...dia itu egois, tidak mau membagi Ibu denganku!" sambung Sean.

Laura diam dia hanya mendengarkam kekesalan temannya itu. Setelah Laura yakin tak ada lagi kata yang keluar dari Sean, dia pun berdiri dan menghampiri Sean. Memberikan pelukan hangat pada temannya yang sedang terluka.

"Mulai dari sekarang aku akan jadi Ibumu, jangan menangis ya anakku!" Laura menepuk pelan punggung Sean kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

Sean tak berkata apa pun. Dia hanya mengangguk pelan dan membalas pelukan Laura. Mulai hari itu Laura jadi cinta pertamanya.

Dia tumbuh dewasa bersama Laura. Setiap waktu dia habiskan bersama Laura. Tidak ada satu hari pun yang dia lewati bersama Laura. Hari-hari Sean hanya berisikan tentang Laura. Bahkan,  dunianya pun berputar di sekitar Laura.

"Laura..."

"Laura..."

"Jangan tinggalkan aku Laura..."

Kata itu yang selalu Sean ucapkan pada Laura. Gadis itu benar-benar menjadi pusat kehidupan seorang Sean. Sampai suatu hari Laura menghilang dari kehidupan Sean. Membuat luka yang benar-benar dalam.

*Flashback off*

"....raaaa," gumam Sean yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Kiran yang sedang melewati Sean pun langsung menoleh secepat kilatan cahaya.

"Ra? Dia bilang apa tadi," bisik Kiran.

Kiran mendekatkan telinganya ke arah bibir Sean. Kalau saja dia akan mendengar kembali suara-suara aneh dari bibir Sean.

"Ayolah katakan lagi," gumam Kiran kesal.

"RAKIRANA!" teriak Sean.

Kiran langsung menarik telinganya menjauh dari mulut besar Sean. Kurang ajar pikir Kiran. Berani sekali laki-laki ini mengerjainya. Kiran kesal dia mengepal kedua tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Mintalah pengampunan dariku, sebelum wajahmu dipenuhi lebam," ancam Kiran yang sudah berdiri dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan balik.

"Ayolah,  aku hanya bercanda," elak Sean.

"Bercanda? Dan juga kenapa kau tiap hari ada di rumahku. Kalau mau menonton TV,  tonton saja di rumahmu!" omel Kiran.

Sean menghela nafas kasar, "Pacarku sangat menyeramkan, tiap hari yang dilakukan hanya marah-marah. Lebih baik sini kemari tidur di sofa bersamaku,  kita nonton TV film romantis lalu berci—"

"Pervert!" pekik Kiran.

Sean dan Kiran sudah menjalani hubungan mereka lebih dari seminggu. Tapi,  sepertinya hubungan mereka tidak berlangsung dengan baik dan lancar seperti pasangan lainnya. Ya, kalau dipikir-pikir Sean dan Kiran bukanlah pasangan yang cocok. Mereka lebih terlihat seperti musuh abadi.

"Come on babe!" seru Sean sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Datang kemari aku akan memelukmu," sambung Sean.

Kiran menyerah, percuma bicara pada mahluk yang sedang berada di depannya ini. Percuma!  Percuma!

"Aku bingung kenapa kau terlalu menjaga jarak denganku, wah aku jadi terluka," rutuk Sean.

Sean kemudian duduk. Tangannya melambai ke arah Kiran yang memang masih berdiri di hadapannya. Sean menepuk bantalan kursi tanda bahwa dia ingin Kiran duduk di sampingnya.

"Ayo kemari," titah Sean yang tak terbantahkan.

"Aku tidak menjaga jarak, budaya kita memang berbeda, dan kau juga harus mulai memahami soal itu," rutuk Kiran.

Bagaimanapun Kiran hidup dengan budaya timur. Sedangkan Sean sudah terbiasa dengan budaya barat. Yang bisa dikatakan terlalu bebas untuk Kiran.

"Kalau begini tidak apa-apa kan?" kata Sean yang tangannya sudah merangkul pundak Kiran.

Kurang menganggukkan kepalanya kuat. Wajahnya merona. Detak jantungnya pun mulai bertingkah.

"Kiran kau bilang mauemadamkan perasaanmu dan juga dia,  tapi kenapa jantungmu jadi berdebar seperti anjing gila, dasar perasaan sialan ini!"

"Kalau tidak nyaman bilang, aku akan melepasnya," kata Sean.

"Ja-jangan,"

"Hah jangan? Jadi begini boleh ya?"

Kiran mengangguk. Semua terasa canggung. Sean juga begitu. Rasanya perutnya digelitik oleh sesuatu. Dan di dalam perutnya ada yang sedang berputar-putar.

"Ah, kenapa aku jadi payah seperti ini. Aku hanya merangkul pundaknya tapi kenapa jantungku berdebar kencang, kau payah Sean!"

.
.
.
.
.
.
.


Unexpected LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang