Keraguan mungkin itulah yang membuat Kiran tidak bisa menerima perasaan Sean dan mengira semua yang diungkapkan Sean hanyalah bualan belaka. Ketakutan akan hal yang sama terjadi lagi pada dirinya membuat Kiran benar-benar sangat sulit untuk melangkahkan kakinya keluar dari masa lalu.
"Dan setelah kau bisa membuatku begitu, kau pasti akan mencampakkanku," jawab Kiran. Jari-jemarinya mengelus pipi Sean.
"Jika kau hanya ingin bermain dengan hatiku—"
"sssst!" jari telunjuk Sean mendarat di bibir Kiran, menghentikan kata-kata yang baru saja ingin Kiran lontarkan.
"Kita baru akan memulai, kau pikir kau saja yang punya luka?"
Pertanyaan Sean membuat Kiran diam. Apa maksudnya? Tidak mungkin Sean pernah terluka. Lelaki seperti dia pasti punya peran sebagai seorang player.
"Kau benar-benar meragukan setiap kata-kata yang kuucapkan, sebagai seorang pacar kau keterlaluan!" rutuk Sean.
"Pacar?" kata Kiran.
"Jangan mengelak, berhentilah membantahku. Aku masih ingat beberapa menit yang lalu kau bilang mau jadi pacarku dan akan membuat aku sendiri yang tak tahan dengan dirimu," oceh Sean kemudian dia mendesah lelah.
Kiran ikut menghembuskan nafasnya kasar. Lagi-lagi dia mengucapkan hal yang tidak-tidak. Mulutnya ini terus saja menghianatinya. Kiran merasa dirinya bodoh karena sudah terlibat dengan pria super menyebalkan seperti Sean.
"Kita jalani saja, seperti pasangan yang lainnya. Aku juga penasaran tentang satu hal," kata Sean.
Kiran sontak menoleh dan menatap ke arah wajah Sean sambil memperhatikan setiap emosi yang tercermin dari wajah Sean.
"Aku tahu, aku ini terlalu tampan dan menyilaukan, jangan terus-terusan melihatku matamu bisa buta karena cahaya dari wajahku yang melebihi sinar matahari," celetuk Sean.
Sean tetaplah Sean. Dia terlalu percaya diri, tidak tahu malu dan kata-katanya selalu seperti duri-duri yang langsung menancap ke telinga para pendengarnya.
Niat Kiran untuk menatap wajah Sean lebih lama begitu saja lenyap. "Apa yang membuatmu penasaran?" tanya Kiran.
"Penasaran apakah aku memang benar-benar jatuh cinta padamu atau kau hanyalah obsesiku," jawab Sean datar sambil menatap lekat manik mata Kiran.
Hati Kiran sakit. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia tidak tahu kenapa hati dan jantungnya bertingkah seperti ini. Dan semua itu lebih terasa menyakitkan karena Sean menatap matanya dengan dingin. Kiran yakin apa yang baru saja Sean ucapkan bukanlah sebuah candaan.
Tapi kenapa? Kenapa hatinya ikut mengeluh ketika mendengar semua perkataan Sean ini. Hatinya seakan menjerit dan meronta. Hatinya seakan berteriak dengan lantang 'jangan hancurkan aku lagi'. Dan rasa sakit yang tak ingin Kiran kenang pun kembali.
Kiran tersenyum tipis. Dia memalingkan wajahnya. Entah kenapa dia ingin menangis dan bersembunyi. Tapi yang Kiran lakukan sebaliknya. Dia malah tetap diam dan duduk tenang sambil menyesap tehnya.
"Aku belum lupa rasa sakitnya kau malah mau mengingatkanku lagi tentang itu," cicit Kiran.
Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang Kiran bisa lakukan selain mengikuti arah permainan Sean. Entah dia atau Sean yang akan menang. Kiran hanya perlu melihatnya sampai akhir.
"Kau tahu krnapa sejarah itu mahal?" tanya Kiran.
"Aku tidak suka sejarah," jawab Sean.
"Karena sejarah berasal dari kenangan, dan kenangan berisikan masa lalu, dan masa lalu sering kali dilupakan," kata Kiran.
Sean mengerutkan dahinya. Dia bingung apa maksud dari perkataan Kiran.
Kiran menatap wajah Sean yang jelas-jelas tidak mengerti dengan semua ucapannya, "Kau bingung?" Kiran menghela nafasnya kasar, "Sudahlah! Lupakan, pacaran? Bagaimana kita bisa menjalin sebuah hubungan. Kau saja tidak mengerti apa yang kukatakan? Apa kau bodoh? IQ-mu berapa hah!" pekik Kiran kesal.
"Hmmm, sekitar 148 mungkin," Sean tersenyum kemudian mengecup singkat bibir Kiran.
"Kau benar-benar sexy saat marah marah seperti tadi," sambung Sean.
"Sebaiknya aku pulang, pacarku sedang ingin mengamuk. Rasanya gendang telingaku hampir pecah," Sean berdiri. "Jangan terlalu banyak marah lihat ada kerutan di sekitar bubirmu," kata Sean sambil mengusap ujung bibir Kiran.
Kiran menepis tangan Sean. Dia kemudian berdiri sambil membawa cangkir-cangkir teh yang kosong. "Pulanglah kalau bisa aku tidak melihatmu hari ini," Kiran diam sejenak seakan sedang memikirkan kembali perkataannya, "jangan-jangan lebih baik jangan sehari, tapi selama-lama-lama-lamanyaaaaaa," Kiran berbalik dengan cepat sehingga kibasan rambutnya terkena mata Sean.
"Auugghhh, Kiran rambutmu!" pekik Sean.
"Sorry," jawab Kiran sambil menyenandungkan lagu favoritnya.
Sean pergi dan rumah pun kembali sepi. Kiran berdiri di depan wastafel sambil menatap kosong ke arah keran yang terbuka. Suara air yang mengalir dari keran menyamarkan isakan tangis yang keluar dari bibir Kiran.
"Kenapa aku menangis?" tanya Kiran kepada durinya sendiri. Dia menyeka air matanya.
Kenangan tak bisa hilang secepat itu. Walau waktu bilang akan segera memudarkannya. Terlebih lagi itu kenangan yang menyakitkan. Kiran tidak ingin terlihat rapuh dan juga lemah. Tapi, hatinya memang sudah patah dan mungkin akan berubah menjadi serpihan kecil jika hatinya merasakan luka yang sama.
"Sean," ucap Kiran pelan.
"Sean," ucap Kiran pelan.
"Sean," ucap Kiran lagi dengan suara hampir tidak terdengar.
"Jika kau tak mau memadamkan perasaanmu, maka aku yang akan padamkan!"
..
.
.
.
.
.
Maaf baru muncul.
Habis hibernasi.
Biasa namanya juga beruang.
Jangan lupa vomment...
Gak tahu vomment?
Vote dan comment.
Don't be silent riders..
Karena para siders lah yang suka mematahkan semangat juang para author yang ingin terus-terusan update.
Gak akan ada yang mau terus maju tanpa dukungan.
Setidaknya komen dan vote kalian memiliki arti penyemangat dalam menulis.
Entar B kembali berhibernasi jika-jika ...
Kamsahamnida!
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Love
Romance18+ Bijaklah dalam memilih bacaan. Not include sex scene but full of harsh words. langsung baca prolog... di private random....