12th

4 2 5
                                    

Seminggu telah berlalu. Variel yang masih terbaring lemas di atas kasur rumah sakit yang berdinding serba putih. Matanya terpejam, walaupun Variel sudah sadar saat kakaknya-Felix memasuki ruangan malam itu. Namun, terlalu berat untuk membuka matanya. Selang oksigen yang masih terdapat di hidungnya dan infus yang masih menempel di tubuh Variel.

Mawar putih yang masih segar disimpan di atas nakas tepat sebelah kasur di mana tubuh Variel terbaring. Setiap hari selama seminggu, Nita selalu membawa mawar putih sepulang sekolah.

"Va," sebisa mungkin Nita memanggil Variel dengan halus dan tenang. Dengan perlahan Variel membuka matanya, melihat Nita yang sedang duduk dan masih menggunakan seragam sekolah.

"Lagi?" tanya Variel sambil melihat mawar putih yang masih segar di atas nakas. Nita menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kepada Variel. "Dari?"

"Dari orang lah Va, masa iya dari kucing," jawab Nita dengam santai. Nita tidak bisa memberi tau siapa yang memberilan bunga tersebut karena ia sudah berjanji agar tidak memberi taukannya kepada Variel.

"Va, lo tau gak sih tadi, di sekolah pas jamnya Pak Haris, pas dia baru aja masuk ke kelas, dia langsung ngadain ulangan. Gilakan. Sumpah, gue gak bisa jawab sama sekali tau, gue cuma isi diketahui sama ditanya aja. Lo cepet sembuh napa biar kalo ada ulangan dadakan lagi kan gue bisa nyontek," Variel hanya melihat temannya yang terus bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah.

Itulah yang dilakukan Nita, bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah dan mengantarkan mawar putih titipan seseorang.

"Kalo udah dibilang sebelumnya bakal ulangan atau quiz lo juga gak bakal belajar," Nita cengengesan mendengar ucapan Variel. Mau sebelumnya dikasih tau kalo ada ulangan atau dadakan Nita tidak pernah belajar, ia hanya mengandalkan temen sebangkunya.

"Ya, enggak lah, Va. Lo tau gue kan, mana ada jam buat belajar, jam buat nonton drakor aja masih kurang."

Variel tidak lagi menyauti ucapan Nita, ia hanya melihat langit-langit kamar inapnya. Seperti itulah kegiatannya selama di rumah sakit. Mendengar Nita mengoceh baik tentang sekolah ataupun drama korea yang ditontonnya. Setelah capek mendengar ucapan Nita, Variel hanya melihat langit-langit kamar inapnya yang berwarna putih yang berharap langit-langit tersebut berubah menjadi langit. Dan, menunggu kakaknya kembali ke rumah sakit dari sibuknya pekerjaan dan kuliah yang digelutinya.

Tidak ada lagi yang menjenguk Variel selama ia berada di rumah sakit, hanya Nita, kakaknya-Felix, dan teman-teman sekelasnya yang datang hanya sekali.

Selama Variel dirawat setelah kecelakaan tersebut terjadi, ia berpikir kenapa dirinya melewati jalan yang tidak pernah dilewatinya dan jalan yang entah kemana tujuannya.

¤¤¤

Jam tangan berwarna silver yang melingkar di tangan kanannya menunjukkan pukul 09.30 malam. Gio melihat langit malam melalui balkon apartmentnya yang kini dipenuhi bintang. Satu persatu bintang di langit tersebut dihitung oleh Gio.

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

"Empat."

Memasuki hitungan kelima, Gio mendengar suara pintu yang terbuka. Mengingat kembali sekarang sudah malam hari, ia mengira temannya yang datang.

Namun, Gio mendengar suara sepatu yang menyatu dengan lantai. Sosok laki-laki memasuki apartment Gio yang menggunakan sepatu pantopel, celana kain berwarna hitam, dan kemeja putih yang sangat rapih dan bersih.

Gio membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang mendatangi dirinya dimalam ini. Satu kata yang keluar dari mulut Gio saat melihat siapa yang datang.

"Ayah."

Seulas senyum tergambar di wajah Daniel-ayah Gio. Sudah lama Daniel menanti anaknya kembali menyebut dirinya ayah.

Dengan perlahan Daniel menghampiri anaknya. Gio kembali membalikkan badannya, kembali melihat langit malam.

"Ayah tau kamu di sini dari Daffa," Gio tidak merespon ucapan Daniel.

"Ayah dengar semuanya, Variel kecelakaan, dan kamu mulai menghubungi Reni untuk mengetahui kabar Kenya," lagi-lagi Gio tidak merespon ucapan ayahnya, ia hanya melihat gelapnya langit.

"Untuk apa kamu mengetahui kabar Kenya? Kamu mau tau kebenaran dari semua yang sudah terjadi?" Gio melihat ayahnya.

"Sudahlah nak, semua itu sudah berlalu. Lupakanlah," Gio tersenyum sinis mendengar ucapan ayahnya.

"Lupakan?" Daniel melihat wajah anaknya tidak bisa menerima ucapannya. "Semudah itukah melupakan semua yang telah terjadi?"

Gio meninggalkan ayahnya di balkon sendiri. Sedangkan ia membawa dirinya duduk di sebuah sofa berwarna hitam dan memejamkan matanya.

Selesai menghembuskan napasnya, Daniel masuk ke dalam dan tidak lupa menutup pintu yang menyambungkan ruang tamu dengan balkon. Dilihatnya Gio dengan mata yang terpejam.

Daniel duduk di seberang Gio. Ia melihat sekeliling ruang tamu apartment yang ditinggali oleh anaknya-Gio. Jaket, tas, kertas-kertas, gelas bekas minuman berserakan.

"Ayah gak tau gimana kamu bisa betah tinggal di tempat yang berantakan? Pulanglah nak," tidak ada satu pun perkataan Daniel yang didengar oleh Gio, ia sibuk memakai jaket jeans yang terletak di sofa dan memakai sepatu converse berwarna hitam yang ada di lantai.

Gio mengambil kunci mobil yang ada di atas meja, dimasukkannya ke dalam saku jaket miliknya. Dengan langkah besar yang Gio ambil membuat dirinya hanya memerlukan tiga langkah untuk mencapai ambang pintu apartmentnya.

"Kalo udah selesai, silakan keluar. Pintu tidak usah dikunci, tidak ada barang berharga satu pun di dalam," ucap Gio sambil berdiri di ambang pintu sebelum pergi meninggalkan ayahnya sendirian di dalam apartment.

¤¤¤

Ruang rawat inap yang berwarna putih dengan beberapa bouquet bunga yang tersimpan di atas meja. Seorang gadis berpakaian rumah sakit berbaring lemas tidak berdaya di atas kasur dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya, berbagai kabel dan infus pun menempel di tubuhnya. Suara dari alat vital sign monitor memenuhi ruang rawat gadis tersebut.

Betapa lemahnya tubuh gadis tersebut dapat digambarkan dari matanya yang terus tertutup rapat.

Entah sampai kapan gadis tersebut terus menutup matanya rapat-rapat. Apakah ia sudah melupakan dunia yang indah ini?

Dengan perlahan Gio mengambil tangan gadis tersebut yang lebih kecil dari tangan miliknya. Dilihatnya wajah gadis tersebut yang pucat.

Sudah berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun gadis tersebut masih menutup matanya. Jika Gio bisa memilih, ia lebih memilih untuk menggantikan posisi gadis tersebut, agar ia tidak lagi mengingat-ingat masa lalunya yang terlalu pahit.

Jari tangan Gio merangkum jari gadis tersebut dan berharap gadis tersebut membuka matanya, melihat lagi indahnya dunia.

"Gue jahat ya? Baru kali ini gue dateng," ucap Gio sambil melihat wajah gadis tersebut.

"Udah lama gue pingin dateng, tapi gue masih belum sanggup untuk tau semuanya. Gue kangen lo. Bangun ya," sesekali Gio mengelus-elus rambut gadis tersebut dengan sangat halus.




Hallo
Akhirnya bisa nulis lagi
Gak tau mau ngomong apa
Pokoknya jangan lupa kasih vote sama komen yaa

Udah itu aja bingung mau ngomong apa




Bye...

20 Juni 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang