Part 14

4.4K 632 29
                                    


Suara geraman terdengar keras serta diikuti benda jatuh. Kawanan pack yang berkumpul menjauhi suara itu karena ngeri,  baru kali ini mereka melihat sang Alpha marah dan emosi.
Sudah seminggu berlalu tapi pencarian Joanna mengalami kesulitan,  banyak anggota pack juga yang harus tewas dalam pencarian ini.

Liam sudah mengepung sepuluh tempat biasanya vampir berada, tapi yang mereka temui hanya sekumpulan vampir baru. Ada beberapa yang lumayan tapi bukan dari golongan vampir tua yang dicarinya. Liam hampir putus asa. Liam harus menyelamatkan Joanna, sebelum itu hidupnya akan dibayangi kegelisahan dan sakit yang mendera.

"Alpha, ku mohon tenanglah. Tidak ada gunanya mengeluarkan emosi yang terbuang percuma," Aron mencoba membujuk.

"Benar yang dikatakan Aron,  Alpha. Kita semua alan selalu membantu,  asal Alpha mau bersabar dan berpikiran tenang."

"Aku tidak bisa tenang,  Daniel. Aku harus mendapatkan Joanna kembali sebelum sesuatu yang buruk terjadi. "

"Kemungkinan apa yang terburuk, Aplha? Mungkin vampir itu hanya ingin mengertak pack kita," Daniel berkata.

"Joanna bisa saja mati,  Daniel. Jika Joanna mati itu berarti penderitaan bagiku,  kau tidak akan pernah paham. Yang harus kalian pahami adalah berlatihnya sekeras mungkin agar bisa mengalahkan makhluk abadi itu. Aku ingin kalian semua membinasakan makhluk-makhluk itu hingga ke akarnya,"  Liam menatap semua kawanan yang berkumpul itu dengan tatapan serius dan tajam.

"Maafkan aku Alpha,  siapa sesungguhnya Joanna ini hingga keberadaannya sangat berarti bagimu?"

Tubuh Liam membeku, tegang karena pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Belum saatnya mereka semua tahu kalo Joanna adalah luna-nya. Liam mengalihkan tatapan dari mata menyelidik anggota pack nya,  meski seharusnya ia tidak boleh menutupi keberadaan luna dari mereka semua.

"Yang harus kalian tahu adalah,  Joanna sangat penting bagi pack ini. Kematian Joanna adalah kegagalan yang harus kita semua tanggung ke depannya, yang aku sendiri harus harus tanggung sebenarnya. Jadi ku harap kalian paham seberapa pentingnya dia bagiku. sekarang kalian boleh pergi,  dan melakukan latihan yang sungguh-sungguh."

Setelah memberi hormat,  semua orang pergi meninggalkan Liam. Menyisakan Aron yang belum beranjak.

"Liam, " Aron mencoba bertanya,  karena sesungguhnya pertanyaan itu sudah lama belum mendapat jawaban. "Ada apa ini sebenarnya? Dari awal ada sesuatu yang aneh dengan kalian berdua,  membuatku bertanya tanya siapa sebenarnya Joanna ini? Joanna ini adalah Anna sang penyembuh yang ku bawa ke dalam pack ini untuk menyembuhkan Maura, kan?"

"Ya, entah bagaimana aku menjelaskannya padamu," Liam masih ragu untuk mengatakan kebenarannya pada Aron.

"Aku bersedia mendengarkan, anggap aku hanya Aron sahabatmu,  bukan sebagai beta. Kau tahu aku siap membantu apapun masalahmu."

"Aku tahu,  Aron. Tapi kebenaran ini sudah lama membuatku bingung,  dimulai saat Anna datang kemari. Seperti sesuatu yang lama hilang telah kembali."

"Kembali? Bagaimana bisa kembali jika tidak pernah datang?" Aron bingung.

"Itu adalah pertanyaanku juga,  banyak sekali kejadian setelah Anna datang kemari. Mungkin kau bisa mencari tahu siapa Joanna sebenarnya, mungkin saja Joanna pernah tinggal disini."

"Baiklah,  aku akan mencari tahu. Tapi pertanyaanku masih belum terjawab,  Liam?"

"Joanna,  dia adalah..... Luna. Luna-Ku"

"Apaaaaa?" Aron tidak pernah merasa begitu syok dengan perkataan Liam.
"Joanna adalah Luna dan kau memperlakukannya seperti orang asing. Ya Tuhan Liam!" Aron menggelengkan kepalanya tak percaya.

Liam bergerak gelisah sambil menggelengkan kepalanya. Kedua tangan nya meremas rambutnya hingga berantakan.

"Apa---apa alasanmu menolak Luna, Liam? "Tanya Aron.

Liam masih terdiam tak menjawab, tapi tubuhnya terus bergerak seakan bingung akan mengatakan apa. Aron mendekat dan menyentuh bahu Liam pelan,  mencoba memberi dukungan.

"Kau tahu,  apapun keputusanmu aku akan selalu mendukungmu. Tapi bisakah kau jujur padaku tentang masalah ini agar aku juga bisa memikirkan sebuah cara agar bisa menemukan Luna."

"Terima kasih, Aron," Liam mendesah panjang, rasanya begitu menyesakkan hingga Liam tak mampu mengatakan apa yang dirasanya sekarang. "Aku merasa begitu menyedihkan, Aron. Disatu sisi ada Alice wanita yang aku hormati dan hargai melebihi siapapun, disisi lain ada Luna-ku yang adalah hidup dan matiku tergantung padanya. Ada banyak pertentangan batin yang membuatku bingung dan membuatku tak bisa mengambil keputusan dengan cepat."

Liam menampilkan raut wajah kalah dan rapuh, seakan dunia sudah runtuh dibawah kakinya.

Aron bersimpati oleh apa yang terjadi pada Liam, baru kali ini melihat Liam yang begitu gagah berank terlihat begitu rapuh dan sendirian. Aron mendengar banyak kisah yang menyakitkan tentang perpisahan sepasang mate, tapi lebih banyak kisah yang berakhir bahagia jika sepasang mate tidak terlambat bertemu. Tapi yang lebih parah adalah ketika seorang mate merejeck pasangannya. Aron berharap itu tidak terjadi pada Liam, Aron tidak bisa membayangkan bagaimana akhirnya jika itu terjadi.

"Tenanglah,  Liam. Kami semua siap membantumu. Tentang Alice,  ku mohon pikirkan kembali keputusanmu agar tidak ada diantara keduanya yang terluka. Ku harap kau tahu kebutuhanmu lebih pantas diperjuangkan daripada keinginanmu."

"Bagaimana bisa jika yang kubutuhkan adalah Alice,  tapi yang lebih ku inginkan adalah Joanna."

Wajah Liam terlihat lebih putus asa.

"Biarkan takdir yang menentukan jika keduanya begitu sulit untuk kau tentukan. Percayalah bahwa ada hal yang bisa kita ambil dari kejadian ini."

Aron berjalan keluar,  saat tangannya berada diujung gerendel pintu,  Aron berhenti.

"Mungkin inilah jalan yang ditunjukkan padamu,  bahwa meski harusnya kebutuhan lebih diutamakan dari keinginanmu kau tetap tidak bisa mengelabui takdir yang sudah ada. Joanna adalah Luna-mu dan akan tetap seperti itu meskipun kau merejecknya. Aku yakin kau pasti bisa memilih jalan yang benar untuk hidupmu dan juga masa depanmu. "

Aron keluar dengan pelan tanpa suara,  menyisakan keheningan dan harapan yang entah bagaimana memberi Liam pencerahan. Sudah saatnya Liam mengambil keputusan dengan benar,  meski mungkin itu semua hanya bisa dilkukan jika ia menjual jiwanya pada iblis sekalipun.

***

Dibalik bayang bayang seseorang berdiri dan mendengar, sambil mengepalkan kedua tangannya ia bersandar pada dinding keras dibelakangnya.

"Aku tidak pernah berniat jahat pada siapapun, tapi takdir memang sudah memilih jalannya. Meski begitu aku bisa menentukan sendiri masa depanku,  dan masa depanku hanya di hidupmu."

Berbalik dan menatap Liam yang masih merenung dengan rapuh. Senyum sedih hadir dibibir indahnya.

"Kita liat nanti, jalan manakah yang takdir pertahankan saat masa depan sudah bisa ditentukan olehku sendiri. "
Berbalik pergi dengan cepat tanpa suara yang bisa membuat Liam curiga,  meski ia tahu bahwa pendengaran Liam lebih tajam dari siapapun. Tapi sudah bertahun tahun ia belajar melakukan sesuatu yang membuat Liam tidak akan sadar akan keberadaan dan juga apapun yang dipikirkannya.



Tbc

Maafkan daku yang lama tidak update, kesibukan dunia nyata menyita pikiranku. Sekali lagi maafkan ya. Semoga masih banyak yang menunggu Liam-Joanna hadir di sini. Jangan lupa tinggalkan Votment kalian.

Peluk dan cium dariku😍😍😘😘

Tempted by the AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang