#7
Elzi terus berjalan sembari menahan kesal di sepanjang koridor. Bagaimana tidak, Nelly si teman laknatnya itu meninggalkannya di toilet sendirian. Tidak tahukah dia seberapa besar rasa trauma Elzi dengan toilet? Ck, awas saja jika ia menemukan Nelly. Akan ia sembur dengan jurus andalannya. Jurus ngomel-ngomel tentunya! Karena Elzi sungguh marah sekarang!
Belum lagi beberapa siswa laki-laki yang terus meledaknya di sepanjang koridor. Elzi memberi tatapan tajam dan sesekali mengudarakan kepalan tangan kepada mereka. Elzi memang terkenal sebagai gadis galak, oleh karena itu banyak siswa laki-laki yang senang meledeknya. Sungguh, sangat menyenangkan jika mengganggu gadis garang macam Elzi. Apalagi jika gadis itu sudah mengomel. Sangat menggemaskan, pikir mereka.
Hingga presensi geng bobrok yang tengah berjalan ke arahnya membuat Elzi terpekik kaget. Gadis itu mematung sebentar, kemudian sekelebat bayangan di koridor kemarin datang menghampiri otak Elzi. Gadis itu menepuk dahinya, dengan segera ia membalikkan badannya. Berniat lari dari Nata.
Tunggu? Kenapa ia harus lari? Ck, apakah ia mau terlihat bodoh lagi di depan Nata? Batin Elzi tertawa sumbang. Hampir saja ia menjatuhkan harga dirinya lagi dihadapan mahluk kaku itu.
Elzi merapikan anak rambutnya, kemudian ia berdehem guna menetralkan suasana hatinya. Gadis itu menarik nafas panjang dan membalikkan badannya dengan cepat.
"Eh tengil! Gue nggak takut, ya, sama lo!" ucap Elzi sembari menunjuk wajah pria dihadapannya.
Sebentar-- kenapa wajah Nata terlihat sangat tua? Dan jangan lupakan kumis panjangnya yang macam Pak Raden itu. Seingatnya Nata tidak memiliki kumis. Oh, mungkin cowok itu baru saja tumbuh kumis dalam semalam. Tapi, apakah mungkin kumis yang tumbuh dalam semalam akan selebat itu?
Oke, lupakan perihal kumis. Dan, dimana teman-teman astralnya itu. Bukankah mereka tadi berjalan beriringan?
Perlahan namun pasti, Elzi menengokan kepalanya ke lapangan utama SMA Citra Bangsa, tepat disamping kanannya. Shit! Enam makhluk astral itu kini tengah bermain bola di lapangan. Lalu, dihadapannya siapa?
Elzi menggeser jari telunjuknya yang masih mengudara. Dilihatnya Pak Handoyo yang sedang menatapnya garang. Elzi pun langsung memberikan cengiran polosnya. Sialan!
"Saya tengil?" sindir Pak Handoyo.
Elzi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak Pak, anu itu... "
"Hukuman yang kemarin masih kurang?" lanjut Pak Handoyo.
Mendengar itu, Elzi langsung melotot kaget. Pertanyaan Pak Handoyo sungguh terdengar horor di telinganya. Mungkin hanya Elzi saja yang tahu, hukum terakhir itu sudah lebih dari cukup. Tidak lagi!
"Nggak Pak. Tadi itu... "
"Hormat di tiang bendera sampai jam pelajaran saya selesai!" ucap Pak Handoyo mutlak.
Elzi menganga sembari merosotkan kedua bahunya. Yang benar saja! Jam pelajaran Pak Handoyo masih tersisa dua jam. Dan matahari sedang benar-benar terik sekarang. Bisa mati gosong jika seperti itu.
"Merangkum lima bab aja pak," tawar Elzi memelas. Menurutnya pilihan yang paling tepat sekarang hanyalah merangkum materi. Sungguh!
"Enggak!"
"Sepuluh bab juga saya mau pak." Ucap Elzi yang masih berusaha meluluhkan guru berkumis di depannya.
"Hormat ke tiang bendera atau membersihkan seluruh toilet?" ancam Pak Handoyo.
Shit!
Jika pilihan yang tersedia hanya dua opsi itu, maka Elzi bisa apa? Membantah pun rasanya sia-sia. Tentu saja Elzi lebih memilih hormat ditiang bendera. Tak apalah ia akan gosong sampai hitam legam. Hitung-hitung menambah pengalaman baru dalam dunia perhukuman Pak Handoyo. Fiuh!
KAMU SEDANG MEMBACA
NATA [Selesai]✓
Fiksi RemajaVersi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengeksperesikan perasaannya. Ia memiliki pribadi yang sangat dingin dan irit bicara. Dimana ternyata semua itu karena masa lalu kelam dan kerasny...