#16
Semilir angin yang berhembus tenang seakan menjadi melodi pengiring sunyi dalam ruang hampa yang di penuhi duka. Isak tangis memilukan pun turut andil menghiasi hamparan rumput hijau yang tak polos akan adanya nisan penuh nama.
Gadis dengan tubuh mungilnya yang bergetar, serta isakan pedih yang terdengar panca indra, berhasil membuat lelaki kecil yang berdiri tak jauh darinya ikut merasakan lara.
Hampir satu jam anak lelaki itu memandangi gadis kecil yang terus menerus terisak pilu, hingga ia merasakan sebuah tangan lembut menyentuh pundaknya. Lelaki kecil itu pun mendongak, terlihat wanita yang tak lagi muda tengah tersenyum padanya.
"Yakin belum mau nyamperin?" tanya wanita berumur itu dengan lembut.
Lelaki kecil itu tak menjawab dan lebih memilih untuk melempar arah pandangnya lagi pada sang gadis diseberang sana.
Wanita tua itu tersenyum. "Ceritanya cucu omah masih gengsi?"
Cucu dari wanita itu kembali mendongak-- menatapnya. "Omah." Ucap sang cucu-- bimbang harus melakukan apa.
Sang Omah kembali melempar senyuman hangat, "sana hibur dia. Cucu omah liat sendiri 'kan kalo dia lagi sedih."
"Tiga kali kita ketemu dia di sini, dan dia selalu nangis sendiri. Cucu omah pun tiga kali hanya liat dia dari jauh." Lanjut Sang Omah.
"Tapi, aku nggak bisa jadi badut buat hibur dia." Tuturnya yang mengundang senyuman gemas dari wanita berumur itu.
"Siapa bilang cucu omah harus jadi badut dulu?"
Lelaki kecil tampan itu mengerucutkan bibirnya, seolah tengah berfikir keras. "Katanya harus hibur dia, berarti aku harus buat dia senyum. Badut kan lucu, sedangkan aku enggak. Nanti dia nggak senyum." Jujurnya polos.
Sang Omah berjongkok lalu mengusap kepala cucunya, "sana hibur dia. Buat dia senyum karena cucu omah yang menghibur, bukannya badut yang lucu itu."
"Omah tunggu di mobil, yah?" pamitnya yang dibalas anggukan oleh lelaki kecil itu.
Wanita berumur itu pun melangkahkan kakinya untuk menjauh dari sang cucu. Namun, panggilan dari sang cucu membuat langkah kakinya terhenti.
"Omah?"
"Iya?" jawab Omah yang sudah membalikan badan.
"Aku lucu nggak?" tanyanya.
Omah kembali dibuat tersenyum gemas karena ulah cucunya sendiri, "lucu."
Lelaki kecil itu pun tersenyum tipis. Lalu perlahan mulai melangkah mendekati gadis yang masih terus menangis. Melihat itu pun omah menggeleng pelan-- gemas akan tingkah bocah kecil itu. Tak mau berlama-lama, wanita itu melanjutkan langkah kakinya yang tertunda-- meninggalkan area pemakaman.
Langkah bocah itu berhenti di belakang gadis kecil yang masih berjongkok.
"Hai. Aku bukan badut, tapi kata Omah aku lucu." Intronya.
Mendengar suara dari arah belakang, bocah perempuan itu kontan membalikkan badannya. "Kamu siapa?" tanyanya dengan suara serak.
"Aku anak lucu." Timpal sang bocah lelaki.
Bocah perempuan itu pun berdiri. Punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus jejak air mata yang tersisa. Dilanjutkan dengan menghapus ingusnya yang keluar.
"Kenapa kamu ke sini? Ayah kamu 'tidur' di sini juga?" tanya bocah perempuan itu seraya menunjuk gundukan tanah bernisan dengan jarinya.
Bocah lelaki itu mengikuti arah tunjuk sang lawan bicara. Kemudian ia menggeleng. "Ayah aku di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATA [Selesai]✓
Fiksi RemajaVersi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengeksperesikan perasaannya. Ia memiliki pribadi yang sangat dingin dan irit bicara. Dimana ternyata semua itu karena masa lalu kelam dan kerasny...