Pagi ini, sang surya benar-benar memamerkan panas teriknya. Jam baru menunjuk pukul 07.15, dan sebentar lagi upacara pengibaran sang saka merah putih akan dimulai. Lapangan telah ramai di isi oleh beberapa siswa yang entah mengapa terlalu bersemangat menyambut jalannya upacara. Biasanya juga baru keluar setelah dijemput dengan penggaris besi panjang milik Pak Narto yang notabenenya merupakan salah satu guru killer di sekolah ini.
"Tumben ramai," ujar Anita yang baru saja meletakkan ranselnya di kursi sampingku. Tumben juga anak ini agak kesiangan, biasanya juga dia yang paling rajin buka pintu.
"Aku juga gak tau," kataku lalu kembali menenggelamkan pandangan ke arah buku fisika yang ada di tanganku.
Tapi sepertinya Anita tidak puas dengan jawabanku, dia kembali bertanya pada ketiga cewe bawel yang sedang duduk melingkar, entah apa yang menjadi bahan gosipnya kali ini. Siapa lagi kalau bukan Reny, Dina, dan Indah alias si mata empat.
"Gaes, kok tumben lapangan udah ramai padahal masih ada 15 menit sebelum upacara dimulai loh ini?" tanya Anita ikut gabung dengan mereka.
"Kamu belum tau kalau pelaksana upacara hari ini gilirannya kelas XI IPA 2?" tanya Indah. Tak bisa kupungkiri kalau suara terlalu mengganggu. Bahkan untuk fokus memecahkan rumus di buku yang aku pegang saja, aku gagal.
"Tau kok, terus apa istimewanya coba?" tanya Anita kembali, raut wajahnya masih terlihat bingung.
"Yang jadi istimewa adalah Naufal si anak pindahan itu ditantang untuk menjadi pemimpin upacara pagi ini oleh Bu Mira, wali kelasnya sendiri. Bu Mira mau ngeliat seberapa besar nyali Naufal yang katanya adalah seorang anak Kapolda Sulsel," jelas Reny yang bawelnya minta ampun.
Dan perlu kalian tahu, kenapa jantungku berdetak tak seperti biasanya setelah mendengar nama Naufal baru saja disebut? What happen with me? Sadar Ay, sadar.
"Waw, masa sih. Kayaknya seru tuh," sahut Anita jadi ikut antusias mendengar kabar ini.
"Pokoknya aku harus berdiri paling depan kali ini. Kapan lagi bisa lihat calon pacarku jadi pemimpin kalau bukan hari ini," seru Dina sambil merapikan kemeja putihnya. Sepertinya dia telah siap menuju lapangan.
Ettsss, tunggu! Tadi dia bilang apa? Calon pacar? heh, gak salah? Jangan mimpi, Naufal sudah punya pacar kali. Eh, kok aku yang emosi sih? Ah, sudahlah. Bodo amat mikirin mereka.
"Idih ... pede amat kamu Din," timpal Reny sambil tertawa kecil.
"Haha ... bodo amat, yang penting aku happy," teriak Dina lalu beranjak pergi.
Reny dan Indah ikut tertawa sambil mengikuti langkah Dina keluar kelas. Sedang Anita hanya bisa tertawa kecil lalu kembali mendekatiku.
"Pris, keluar yuk," ajak Anita.
Kurang lima menit lagi bel akan berbunyi tanda masuknya waktu upacara bendera. Aku memutuskan untuk menutup bukuku lalu ikut bersama Anita menuju lapangan upacara.
Aku berdiri pada barisan paling belakang mengingat teman-temanku berebut tempat di depan. Sebenarnya aku juga penasaran lihat bagaimana cara Naufal memimpin upacara, tapi egoku terlalu tinggi hanya untuk menyerah sekali saja. Jadinya aku tetap berdiri di tempatku tanpa sedikitpun peduli dengan mereka.
Tapi tiba-tiba dari belakang, seseorang merebut topi yang terpasang rapi di kepalaku. Aku berbalik melihat siapa si penjahat itu, dan aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Naufal sedang berdiri di depanku dengan senyum tipisnya yang lagi-lagi membuat aku salah tingkah. Dan kalian harus tahu, kami jadi pusat perhatian saat itu. Eh salah, bukan kami tapi hanya Naufal.
"Kenapa berdiri di sini? Ayo maju," katanya lalu menarikku ke barisan paling depan.
"Eh gak usah, aku mau di belakang aja," tolakku lalu mencoba melepaskan genggamannya untuk kembali ke tempatku semula (belakang).
Tapi Naufal tidak segampang itu melepaskanku, membuat semua pandangan hanya tertuju pada kami. Senior, junior, bahkan teman satu tingkatanku hanya fokus kepada kami berdua. Tentu saja aku salah tingkah dong. Tapi Naufal dengan mudahnya menampilkan smirk menjijikkannya di depanku, seolah ini memang sudah menjadi rencananya dari awal. Huh ... aku gak suka ini.
Setelah aku berhasil ditaklukkan olehnya, tanpa sedikit pun aku prediksi lebih dulu, ia memakai topiku di kepalanya dan setelah itu memakaikan topinya di kepalaku. Sontak saja suara godaan serta suitan dari teman-teman membuat suasana lapangan yang tadinya tegang berganti jadi heboh. Sumpah, mau ditaruh di mana mukaku ini. Jangan bilang kalau mukaku sudah berganti jadi tomat.
"Aku nekad berdiri di depan situ untuk kamu, jadi tolong kamu juga berdiri di sini untuk aku," katanya membuat degupan jantungku di luar kendali. Oh Tuhan, apa yang salah dengan aku?
Aku tidak menjawab ucapannya. Entah mengapa, lidahku terasa keluh bahkan hanya untuk menjawab kata "iya/oke".
Bel baru saja berbunyi, tandanya upacara harus segera dimulai. Naufal tersenyum kecil sebelum akhirnya meninggalkanku menuju tengah lapangan. Satu persatu, guru-guru telah memasuki lapangan upacara. Dan tak berapa lama pembina upacara juga sudah berdiri di tempat penjemputannya.
Jangan tanya bagaimana perasaanku setelahnya. Bahkan hanya untuk mengangkat kepala saja aku tak mampu. Apalagi telingaku sudah panas dengan beberapa bisikan siswi-siswi yang mengidolakan Naufal sedang membicarakanku dari belakang. Aku pengen lenyap saat itu juga. Ini semua karena ulah Naufal sialan.
Tapi ada beberapa hal yang harus aku akui dari Naufal, dia adalah tipe cowo yang memegang teguh ucapannya. Dia bisa membuktikan bahwa dia mampu menjadi apa yang orang-orang pandang sebelah mata lewat jabatan kedua orangtuanya. Sepanjang upacara, tanpa sedikit pun mengangkat kepala, aku bahkan bisa merinding dengan suara serak basahnya yang terdengar benar-benar tegas. Bahkan, sebelum-sebelumnya belum ada yang bisa menyamai caranya memimpin upacara bendera.
Setelah upacara bendera berhasil dilaksanakan dengan sempurna, aku melihat Bu Mira tersenyum bangga ke arah Naufal. Tanpa aku sadari, senyumku juga terukir saat itu. Namun, buru-buru ku menepisnya lalu meninggalkan lapangan saat itu juga.
****
"Kayaknya Naufal ada rasa deh sama kamu, Pris. Kelihatan banget dari cara dia memperlakukan kamu," ujar Anita sedikit berbisik agar Bu Fitri yang sedang menulis beberapa soal di papan tulis tidak mendengar apa yang kami perbincangkan.
Mendengar apa yang Anita ucapkan, aku sedikit terkejut. Tapi cepat-cepat kualihkan ekspresi wajahku seperti sediakala agar dia tidak curiga. Aku sendiri belum tahu kepastian status aku dengan Naufal. Apakah ucapannya malam itu benar-benar serius atau hanya sekedar candaan yang tak pernah ia anggap serius. Entahlah, hanya dia yang tahu. Dan jangan bertanya apakah aku tak ingin memperjelas semuanya karena aku sendiri masih dilema. Duh, apa untungnya bahas soal status. Serahkan semuanya pada waktu, biar dia yang membongkar teka-tekinya.
"Kamu ada-ada aja. Itu cuma perasaan kamu aja kali, kan kamu tau sendiri kalau aku dan Naufal sangat bertolak belakang. Jadi gak mungkinlah," kata mengelak argumen Anita.
"Hahaa ... kamu benar-benar polos ternyata Pris. Bahkan kamu belum bisa bedakan mana yang benar-benar suka dan mana yang cuma main-main." Ucapan Anita kali ini benar-benar membuatku tersudut.
Okelah, aku akui aku emang belum pernah ngerasain jatuh cinta apalagi pacaran. Tapi apa benar aku sepolos itu? Percakapan kami terhenti setelah Bu Fitri beralih menerangkan penuh bagaimana cara memecahkan soal di atas. Aku kembali mencoba fokus, tak ingin belajarku terganggu hanya karena masalah ini.
Proses belajar mengajar berjalan dengan lancar. Tak terasa bel istirahat pun terdengar nyaring di telinga, membuat senyum seisi kelasku merekah sempurna. Bu Fitri menutup pertemuannya dengan ucapan salam, dan tentu saja kami juga menjawab salamnya dengan semangat.
****
Hallo gengs
Bulan ramadhan, jangan sampai baper yah..
wkwkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost You in 2015
Teen FictionHei kamu.. Apa kabar..?? Yah, kamu.. Kamu yang menjadi masa laluku, yang dengan gampangnya kembali mengorek beberapa kepingan kenangan dalam diary kehidupanku. Tapi mau gimana lagi, kepingan itu kembali muncul menyerang pikiranku. Jadi, daripada har...